post.png
jabatan_hakim.jpg

Standar Etika Jabatan Hakim

POST DATE | 05 Maret 2023

Hasbi Ash Shidiqi (1997) mengatakan hakim adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan perkara, gugatan, dan perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan secara langsung.

Karena itu Farid Wajdi (2017) mengatakan sudah sepatutnya setiap penyandangnya bangga sebagai seorang hakim. Jabatan hakim adalah profesi yang diinginkan banyak sehingga sepatutnya hakim selalu bersyukur dan mampu menjaga diri dari kemungkinan mendegradasi kemuliaan profesinya.

Jabatan hakim pada dasarnya adalah adalah profesi luhur (officium nobile), apalagi profesi ini pada hakikatnya adalah pelayanan kepada manusia dan kemanusiaan. Hakim diberi amanah dalam upaya penegakan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada dua karakter yang melekat pada jabatan Hakim yang harus selalu dijaga yaitu kehormatan dan keluhuran. Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Adapun keluhuran menunjukkan, profesi hakim adalah suatu kemuliaan.

Profesi yang digeluti oleh seorang hakim mempunyai tuntutan untuk menegakkan kehormatannya. Kehormatan tersebut dalam ruang lingkup memutuskan dalam setiap perkara dan sebagai teladan dalam laku sosialnya. Hakim harus mampu menjaga kehormatan martabat baik untuk dirinya, keluarganya dan institusinya.

Karena itu dalam melakukan setiap tindakan, perilaku hakim selalu mendapat perhatian, sebab itu pula perilaku hakim diatur suatu kode etik. Kode etik hakim adalah seperangkat norma etik bagi penyandang profesi hakim dalam pelaksanaan tugas dan fungsi menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara.

Kode etik juga memuat norma-norma etik bagi hakim dalam tata pergaulan di dalam (kedinasan/tugas yudisialnya) dan di luar institusi (relasi sosial/di luar tugas yudisialnya). Kode etik hakim dikualifikasir sebagai standar ketentuan etika yang menjadi panduan perilaku profesi hakim (di dalam maupun di luar forum pengadilan).

Seorang hakim dituntut untuk menjalankan kode etika sebagai simbol profesionalisme. Seorang hakim harus memiliki nilai-nilai etis yang mendukung profesinya dan menunjukkan wibawa hukum dimata masyarakat, untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt dan publik. Dengan demikian, penegakan supremasi dan kepastian hukum tidak hanya sebatas angan-angan di ruang-ruang diskusi dan redaksi hukum semata.

Kode etik hakim dalam perkembangannya, menjadi sebuah keniscayaan sebab seringkali terjadi adanya kesenjangan (gap) etis berupa penyalahgunaan profesi jabatan hakim. Keniscayaan kode etik penting mengingat seorang hakim sebagai aparat penegak hukum (legal aparatus) masih ada yang belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melakoni profesinya (Siti Zulaikha, 2014).

Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.

Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur.

Jika kode etik telah menjadi gaya hidup (lifestyle) para penyandang profesi hakim atau sebaliknya hakim abai kepada etiknya, tentu pilihan itu dapat menimbulkan kepercayaan, atau ketidak-percayaan publik kepada institusi pengadilan.

Putri Ayu Trisnawat (2022) mengatakan urgensi antara kode etik dan penguasaan hukum ini bersifat komplementer, saling mengisi dan menguatkan jati diri para profesi hukum. Kode etik sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum yang di dalamnya terdapat daftar kewajiban khusus bagi setiap anggota profesi hukum untuk mengatur tingkah lakunya dan diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh anggota profesi hukum.

Kode etik ini mengikat para pelaku profesi hukum agar senantiasa menaati kode etik tersebut. Kode etik itu menjadi ukuran moralitas anggota profesi hukum, motivasi tindakan, dan ruang lingkup tindakan itu dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota profesi hukum wajib mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki yang dituangkan dalam kode etik, dan tidak pernah mendapat paksaan dari luar.

Kode etik hakim sebagai standar etika bagi jabatan hakim dipantulkan ke dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.

Hakim jelas harus memiliki standar etika yang lebih dari rata-rata orang pada umumnya. Karena itu, sedikit saja pelanggaran yang dilakukan oleh hakim, maka penegakannya harus tetap dilakukan. Karena itu, dalam proses penegakan tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab, pimpinan lembaga pengadilan harus memastikan bahwa tidak akan ada pelanggaran kecuali tindakan tersebut diproses.

Tentu sanksi diberikan sesuai dengan perbuatan sekaligus untuk menimbulkan efek jera. Kapan pun kurun waktunya sekalipun lampau tidak boleh jadi dasar pemaaf selama belum tersentuh tangan pengawasan.

Jika hakim sebagai seorang pejabat yang bangga dengan statusnya tetapi cenderung lebih mengedepankan penampilan dan simbol status daripada kinerjanya. Sesungguhnya hakim telah terjerumus ke dalam proses masifikasi, sehingga tak mampu temukan jati diri.

Suparman Marzuki (2019) mengatakan kewenangan besar hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, ditambah prosedur kerjanya yang diam, tertutup, dan terlindungi, membuat si ”wakil Tuhan” ini rawan menyalahgunakan kewenangannya.

Sifat kewenangan diam (silent) para hakim dalam membuat pertimbangan dan putusan diambil sepenuhnya berdasar interaksi akal sehat dan nurani setiap hakim. Makin cerdas (kompeten) seorang hakim, makin tajam pencermatan dan kian bermutu pertimbangan hukumnya. Makin sehat nurani hakim, makin kuat pula ketaatannya pada moral dan etika profesi.

Nursidik (2021) mengatakan hakim ketika memutus perkara harus didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai undang-undang dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal. Putusan hakim berkualitas tentu dapat dipertanggung-jawabkan secara profesional kepada publik.

Untuk memperoleh putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan publik itu sangat relatif. Tetapi, jika hakim mempunyai standar etika jabatan, panggilan hati nurani sebagai hakim mampu memproduksikan suatu putusan yang berkualitas.

Hakim ketika menjatuhkan suatu putusan, tentu terjadi pergulatan batin dalam dirinya. Suasana pergulatan batin ini terjadi karena ia harus membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah.

Hakim yang menyadari benar bahwa dalam dirinya terjadi pergulatan kemanusiaan yang dihadapkan pada aturan hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa/advokat, atau argumen para pihak, dan lebih dari itu masih harus meletakkan telinganya di jantung masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2006).

Ada suatu ungkapan indah yang mengatakan, hakim juga harus mewakili suara rakyat yang unrepresented dan under-represented (yang diam, yang tidak terwakili, yang tidak terdengar).

Oleh karena itu, hakim juga harus mendengar rakyat, dan perlu menangkap kegelisahan, penderitaan, dan keluhan dari suara-suara yang tidak terdengar. Alangkah mulia tugas hakim. Mendengarkan, melihat, membaca, lalu menjatuhkan pilihan yang adil adalah pekerjaan yang amat berat dan karena itu menguras tenaga dan pikiran.

Bahkan, dalam keadaan sekarang, masih harus ditambah lagi dengan keteguhan untuk melawan godaan dan tarikan ke arah dunia materiil serta desakan opini publik yang dikonstruksikan lewat opini di luar ruang sidang.

Karenanya, ciri khas putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan publik dapat dilihat dari reaksi publik atas putusan hakim yang bersangkutan. Sekali pun ada pihak yang tidak merasa puas dengan putusan yang memenuhi rasa keadilan itu, namun putusan hakim demikian pastilah tidak akan pernah mendapat gejolak di lapangan.

Karena di dalam lubuk hati pihak yang merasa tidak puas tadi, sesungguhnya menerima dan memaklumi kebenaran putusan tersebut. Namun kendati pun putusan hakim sudah dibuat benar dan adil (the truth and justice), tetapi menurut pihak yang dikalahkan atau dihukum bersalah dan dimenangkan atau dibebaskan, terkadang tetap saja dianggap putusan itu tidak benar dan tak adil, sehingga muncul berbagai reaksi atas putusan hakim tersebut, bahkan terkadang sampai menghujat hakim.

Ketika hakim sudah melewati itu semua, ia harus tetap bekerja dalam meluruskan dan menjaga kiblat keadilan. Hakim yang mempunyai standar etika dalam situasi apapun tetap bertugas untuk kepentingan publik dan bukan sebaliknya. Hakim yang mempunyai standar etika tidak memperdagangkan jabatan profesinya, untuk dan dengan alasan apapun serta berapa pun harganya.

Hakim berintegritas senantiasa tidak hanya mendengarkan dengan ‘telinga subjektif’, tetapi juga dengan ‘telinga sosial’.  Seorang hakim bukan teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial, karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia tak hanya memeras otak tetapi juga nuraninya.

 ============

Sumber: Waspada, Selasa, 7 Maret 2023, hlm. B3

 

 



Tag: Etika, , , , Integritas, ,

Post Terkait

Komentar