post.png
Filantropi.jpg

Ramadhan dan Bulan Filantropi

POST DATE | 16 Maret 2024

Secara etimologis, makna filantropi (philanthropy) adalah kedermawanan, kemurahatian, atau sumbangan sosial; sesuatu yang menunjukkan cinta kepada manusia (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos (cinta) dan anthropos manusia).

Secara harfiah bermakna sebagai konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (service) dan asosiasi (association) dengan sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta (Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (eds), 2005) Aksi dari filantropi ini kemudian diwujudkan dengan perilaku dermawan dan kecintaan pada sesama (Ali Ruhiyat, 2022).

Term yang cukup sesuai dan sepadan dengan filantropi dalam Bahasa Indonesia adalah “kedermawanan sosial”. Istilah ini sebenarnya hampir sama tidak populer di telinga masyarakat kebanyakan yang lebih paham dengan istilah dan praktik seperti zakat, infak, sedekah, hibah, dan hadiah. Namum, istilah filantropi dipakai karena memiliki ideologi dibelakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender.

Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang (Linge, 2015). Seperti dengan cara tidak sekadar memberikan buah segar tetapi memberikan benih dan akses keadilan untuk mengelola lahannya. Bak kata pepatah: “Berilah kail, jangan Ikannya”.

Filantropi adalah perilaku orang yang mencintai sesamanya dan nilai kemanusiaannya sehingga dapat menyumbangkan waktu, uang dan tenaga untuk membantu sesama. Istilah tersebut biasanya digunakan untuk orang yang banyak menyumbang untuk amal. Filantropi adalah kegiatan kemanusiaan atau mengandung nilai-nilai kemanusiaan seperti menyumbangkan harta, bersedekah, saling memberikan pertolongan (ta’awwun).

Filantropi tidak lepas dari budaya gotong royong, solidaritas, dan tradisi memberi yang hampir ada disemua daerah. Aksi filantropi diperkuat dengan adanya nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya beramal dan berbagi kepada sesama serta empati yang besar. Ibrahim (2008) mencatat pada masa awal Islam, kata ‘Filantropi’ adalah istilah yang tidak dikenal bahkan belum ada sebutan tersebut.

Meskipun demikian, belakangan ini, terdaapat sejumlah istilah Arab yang digunakan sebagai padanannya. Kata ‘Filantropi’ adakalnya disebut sebagai al-‘ata’ al-ijtima’i (pemberian sosial), adakalanya dinamakan al-takaful al-insani (solidaritas kemanusiaan) atau juga ‘ata khayri (pemberian untuk kebaikan). Istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau as-sadaqah (sedekah) juga digunakan.

Filantropi Islam

Nur Kholis, dkk (2013) dalam kajiannya mengungkapkan dasar utama filantropi Islam bersumber dari QS. al-Ma’un, 107: 1-7. Sebab salah satu ciri/tanda orang yang mendustakan agama adalah tidak menyantuni anak yatim.

Populer disebut dengan teologi al-ma’un. Itu artinya ada konsep sosial keagamaan yang kemudian memunculkan doktrin zakat (tazkiyah) yang mengalami dua tahap yaitu, tahap makkiyah (theologis) yang merupakan tahap pembersihan diri, dan tahap madaniyah yaitu tahap pembersihan harta dengan memberikannya kepada delapan ashnaf seperti yang terdapat dalam QS. At-Taubah, 9: 60.

Pada posisi inilah karitas dapat dipahami sebagai filantropi, sebab seperti diketahui pada dasarnya filantropi Islam sangat kental dengan sifatnya yang individual karena kaitannya dengan dimensi ibadah.

Selain itu, dasar filantropi dalam al-Qur’an juga terdapat dalam enam surat pertama yang diturunkan di Makkah, yaitu QS. Al-Lahab, 111, 104: 2-3, QS. Al-Humazah, 194: 1-3, QS. Al-Maûn, 107: 1-3 107, QS. Al-Takâtsur, 102: 1-2, QS. Al-Layl, 93: 5-11, dan QS. Al-Balad, 90: 10-16. Ini menunjukkah wahyu yang turun di awal-awal masa kenabian membawa visi sosial Al-Quran untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi.

Tidak hanya itu, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah pun masih banyak yang menekankan tentang pentingnya menerapkan filantropi, diantaranya QS. Al-Taubah, 9: 34 dan 71, Q.S. Al-Baqarah, 2: 2-3 dan 272, dan Q.S. Ali-Imran, 3: 180.

Achmad Kholiq (2023) berpendapat begitu banyak pesan Al-Quran, sunnah nabi maupun pandangan para ulama, baik secara eksplisit maupun implisit. Pesan yang mengisyaratkan puasa yang dilakukan umat Islam tidak saja merupakan manifestasi ketaaan beribadah seorang hamba secara vertikal kepada Tuhan, akan tetapi puasa mengajarkan manusia untuk membangun dimensi horizontal dan membuka akses kemanusiaan dalam bentuk ibadah sosial.

Salah satu formatnya adalah dalam bentuk berderma, bermurah hati dengan sesama, baik berupa zakat, infak, sedeqah, wakaf dan amal sosioal lainnya. Pesan moral puasa pada aspek sosial menjadi keniscayaan setelah pesan pendekatan terhadap Tuhan. Kesadaran menumbuhkan tradisi filantropi di kalangan umat Islam menjadi tak terbantahkan, lebih lagi pada bulan puasa ini.

Aini Latifa Zanil (2020) mengatakan praktik filantropi yang ditafsirkan Sayyid Quthb, Wahbah az-Zuhaili, M. Quraish Shihab, dan Buya Hamka yaitu keimanan seseorang akan sempurna jika diiringi dengan amal shaleh yang mendidik jiwa, anjuran untuk menolong sesama serta menyadari jika harta hanyalah titipan Allah yang harus disalurkan untuk hal-hal yang diridai-Nya.

Filantropi yang dibicarakan dalam Al-Quran tidak hanya dilihat sebagai gerakan amal yang bermotif agama, tetapi juga sebagai wujud dari rasa kemanusiaan untuk saling peduli satu sama lain.

Ramadan Bulan Filantropi

Ali Romdhoni (2016) menyebut salah satu julukan untuk bulan Ramadhan adalah bulan filantropi (syahr al-judd; bulan kedermawanan). Di bulan ini umat Islam dianjurkan banyak bersedekah, terutama untuk meringankan beban fakir dan miskin. Rasulillah Muhammad SAW pun memberi keteladanan terbaik, sebagai orang yang paling dermawan di bulan yang suci dan bertabur berkah ini.

Tidak salah jika Achmad Kholiq (2023) mengatakan lembaga puasa sebagai sebuah piranti yang dapat dijadikan proyek perubahan sikap mental manusia menuju kesadaran yang lebih tinggi baik secara vertikal maupun horizontal. Puasa yang tidak berdampak pada perubahan sikap sosial yang lebih saleh, dianggap sebagai pengingkaran terhadap misi puasa itu.

Puasa verbal yang terjebak pada rutinitas ritual, dan mengabaikan aspek-aspek sosial akan menjadi puasa yang tidak imbang dan dapat mengarah kepada puasa mubazir dan formalistis. Padahal misi ibadah puasa, pada hakekatnya merupakan upaya pembentukan karakter manusia agar memiliki watak yang utuh dari dua dimensi, yaitu dimensi kesalehan pribadi dan dimensi kesalehan sosial.

Kesalehan pribadi tidak menjadi paripurna jika tidak dibarengi dengan kesalehan sosial, dan begitupun sebaliknya. Secara teknis misi utama filantropi dalam ajaran Islam adalah pemberdayaan ummat dan peningkatan kesejahteraan, atau dalam redaksi yang lebih filosofis adalah mengurangi disparitas (kesenjangan) antara aghniya dan dhu'afa, serta ikut berbagi rasa dengan sesama. Kedermawanan adalah watak dasar dari filantropi. Filantropi bahkan menjadi salah satu etika dan akhlak Islami yang menempati pilar kedua setelah shalat.

Kedermawanan dalam bingkai ajaran Islam bermakna kepedulian bagi golongan yang secara ekonomi, sosial politik dan kultural berada pada posisi yang kurang menguntungkan (mustad’afin, terpinggirkan). Kesadaran akan budaya filantropi sebenarnya juga merupakan aktualisasi nilai Islam akan kepedulian sosial di lingkungannya. Apalagi Islam didasarkan pada ketaatan akan Tuhan (teosentris) dan selalu berhadapan dengan arus balik kepedulian sosial yang tinggi (humanisme).

Kesalehan pribadi yang dibangun dengan puasa dan shalat berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang pada sisi ini selalu mempunyai kerelasi positif dengan misi kemanusiaan universal. Doktrin kesalehan sosial yang menjadi pilihan umat Islam ketika ia berpuasa, mendapat legitimasi yang kokoh dari Al-Qur'an: …yang mengajarkan agar setiap pribadi muslim untuk terus berusaha menolong sesamanya meskipun dalam waktu susah dan senang (QS. Isra’, 17: 29).

Bagi Subhan Setowara (2021) salah satu relevansi penting kehadiran Ramadan adalah misi filantropi sosial yang dikandungnya. Riset Samuli Schielke (2009) menunjukkan Ramadan tak hanya meningkatkan kesadaran spiritual seorang muslim, namun juga membangkitkan komitmen moral dan sosial, yang diiringi keinginan berbagi untuk kebaikan kemanusiaan dan lingkungan sekitarnya.

Secara filosofis, Ramadan dan filantropi memiliki korelasi yang amat kuat. Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran, pencapaian tertinggi seorang muslim yang berpuasa adalah menjadi insan takwa (QS. Al-Baqarah, 2: 183). Dalam konteks sufisme, sebagaimana disebut Al-Qushayri, takwa adalah derajat mulia yang hanya diraih manusia unggul yang telah melewati proses spiritual seperti kesabaran dan kepasrahan penuh kepada Tuhannya.

Dimensi filantropi Ramadan terpantul pada sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang pada bulan itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebaikan, nilainya seperti orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan pada bulan lainnya. Dan, barangsiapa yang melakukan suatu kewajiban pada bulan itu, nilainya sama dengan 70 kali lipat dari kewajiban yang dilakukannya pada bulan lainnya. Keutamaan sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadan." (HR. Bukhari-Muslim).”

Konsepsi philanthropia adalah untuk menggambarkan manusia unggul. Ciri utamanya berbakti pada kemanusiaan, yakni cinta tanpa pamrih untuk melayani umat manusia dan semesta (rahmatan lil’alamin).

============

Sumber: Waspada, Jumat, 22 Maret 2024, hlm. B4



Tag: , , , , , , Islam,

Post Terkait

Komentar