POST DATE | 25 September 2017
Banyak orang galau karena syiar ramadan ini disambut oleh jor-joran diskon dan ajakan budaya konsumtif lainnya dari pusat-pusat belanja. Masalahnya promosi dan iklan belanja jauh melebihi ajakan spiritualitas Ramadan. Kegalauan ini bukan tanpa alasan.
Media televisi dan koran serta media out door di kota-kota besar memang menawarkan surga belanja di bulan Ramadan ini. Entah berapa banyak biaya promosi atau iklan yang harus dikeluarkan. Yang jelas dari tahun ke tahun budaya konsumsi semakin digenjot mengiringi bumbu spiritualitas Ramadan yang terkesan seadanya. Karena budaya yang entah mulai kapan ini, angka konsumsi di bulan Ramadan memang melonjak tajam.
Akibatnya, terlihat saat ramadan aktivitas ekonomi masyarakat di bidang konsumsi meningkat. Rutinitas pelaksanaan ramadan selalu mengikuti ‘ekonomi ramadan’, yakni tiba-tiba saja saja pasar berubah menjadi lebih bergairah. Masyarakat seakan membutuhkan barang konsumsi lebih banyak lagi.
Menu makanan rumah tangga pun tidak seperti biasanya, perlu disediakan yang lebih khas dan istimewa. Diperkirakan angka konsumsi rata-rata naik menjadi 200 persen sampai 500 persen (baca: 2 sampai 5 kali lipat). Ramadan seakan bulan tak rasional dalam hal konsumsi. Menarik untuk mengetahui siapa yang menikmati angka konsumsi yang meningkat tajam ini. Tentu saja para produsen dan pemasar kitalah yang menerima berkahnya.
Begitulah suasana ramadan dari tahun ke tahun. Di dalam suasana hiruk pikuk menjelang dan saat ramadan biasanya permintaan terhadap barang konsumsi begitu tinggi. Sudah hukum ekonomi pula, bilamana permintaan tinggi (demand) maka harga akan ikut menjulang naik.
Tak salah kemudian yang terjadi, menjelang dan saat ramadan ekonomi ramadan selalu diiringi inflasi. Masyarakat berlomba untuk berbelanja barang konsumsi untuk ‘menyemarakkan’ ramadan.
Menurut ajaran Islam, ramadan disebut sebagai penghulu segala bulan. Karena bulan ini penuh kemuliaan, hikmah, berkah dan ampunan (maghfirah). Allah Swt berfirman: “(beberapa hari yang telah ditentukan ialah) bulan ramadan, bulan yang di dalamnya (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan penjelasan tentang petunjuk dan pembeda (antara yang hak dan batil) (QS. Al Baqarah: 185).
Siklus ramadan bagi seorang muslim merupakan bulan yang ditunggu-tunggu. Suasana ini menurut ajaran Islam Allah Swt membuka pintu kebaikan seluas-luasnya bagi orang yang beriman untuk meraih rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka (itqun minannaar).
Keberadaan ramadan sebagai bulan istimewa untuk mendapatkan predikat muttaqin (QS. Al Baqarah: 183) memiliki beberapa kelebihan dibanding bulan lainnya. Demikian istimewanya ramadan sampai-sampai: “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya dinilai tasbih, doanya dikabulkan dan dosanya diampunkan (HR. Baihaqi dari Abdullah bin Abi Aufi).”
Pendidikan Konsumerisme
Bagi gerakan perlindungan konsumen dikenal terminologi konsumerisme. Term ini bermakna yaitu gerakan konsumen akibat perilaku pelaku usaha yang tidak jujur (fair). Gerakan sosial dan moral untuk melawan terjangan kapitalisme-hedonisme gaya hidup manusia agar lebih cenderung senantiasa memenuhi keperluan, dan bukan keinginan nafsu belaka.
Bahkan untuk mendukung gerakan itu, belakangan populer pula term Hari Tanpa Belanja, yakni sebuah ide sederhana untuk bersikap lebih kritis pada budaya konsumen dengan jalan mengajak konsumen untuk tidak berbelanja selama sehari. Ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtivisme.
Mengutip dari Wikipedia, tujuan Hari Tanpa Belanja adalah untuk memberikan kesadaran publik agar lebih peka terhadap apa yang dibeli, dan seharusnya mempertanyakan produk-produk yang dibeli dan perusahaan-perusahaan yang membuatnya.
Selain itu juga membuat orang berhenti dan berpikir tentang apa dan seberapa banyak yang mereka beli telah berpengaruh pada lingkungan dan negara-negara berkembang.
Substansi ramadan di dalam bidang konsumsi adalah bulan latihan guna melakukan edukasi konsumerisme. Gagasan konsumerisme begitu senyawa dengan makna hakiki ramadan. Pola menyemarakkan ramadan dengan warna dominan belanja secara berlebihan perlu dikoreksi.
Ramadan membatasi sifat belanja besar-besaran seolah semua barang menjadi menjadi begitu dibutuhkan. Konsumtif telah membuat korbannya menjadi hidup sedemikian boros dan enggan untuk berbagi. Belanja ramadan telah menjadi tolok ukur jati diri seseorang, sebab terkait dengan banyak aspek, antara lain rasa gengsi dan status.
Sekadar bandingan lihat saja menjelang dan saat ramadan, pusat perbelanjaan baik modern ataupun tradisional diserbu ibu-ibu (tentu atas restu para suami?). Kebutuhan pokok seperti sayur mayur, beras, gula, minyak goreng, daging, telur ayam, ikan, nyaris diborong habis, padahal harganya telah dinaikkan dari harga biasanya.
Sekilas tradisi itu tak ada masalah, konon lagi dibulan ramadan. Ramadan datangnya cuma sekali dalam setahun. Jadi, wajar saja terjadi, apalagi itu adalah tanda semarak ramadan?
Gejala demikian disebut konsumtivisme (suka hura-hura alias mubazir). Konsumtivisme kata dasarnya adalah konsum yang diambil dari bahasa Inggris yaitu consume yang berarti memanfaatkan atau menghabiskan daya guna suatu barang atau jasa. Manusia pada dasarnya memang secara alami adalah konsumen atau pelaku yang memanfaatkan daya guna suatu barang atau jasa.
Namun demikian pada perkembangannya, budaya mengkonsumsi atau konsumtivisme dimanfaatkan oleh ideologi kapitalism sebagai penopangnya yang kemudian menerabas kearifan-kearifan manusia yang lain. Di antara kearifan-kearifan yang diterabas oleh budaya konsumtivisme adalah kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan berbagi.
Tindakan konsumtivisme bagi umat jelas ‘mencederai’ makna dan substansi kesucian ramadan sebagai bulan pendidikan (tarbiyah), selain untuk mengukuhkan tali ukhuwah yang mungkin sempat renggang dibulan-bulan sebelumnya. Ramadan adalah bulan untuk berbagi antar-sesama manusia, apalagi berbagi dengan mereka yang kurang mampu (dhu’afa).
Bagi Muslim keberadaan ramadan adalah momentum positif guna mengoreksi segala perilaku kehidupan ekonomi, sosial dan ibadahnya. Ramadan sepatutnya diarahkan guna meningkatkan nilai ibadah sosial (hablum-minan-nas) dan nilai-nilai relijiusnya (hablum-min-allah atau tauhid).
Bulan membangun solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Substansi paling dalam pada pelaksanaan ritual ramadan adalah mendidik para penganutnya agar mampu menahan diri (konsumerisme atau imsak) dari segala keinginan atau pemuasan nafsu belaka. Kemudian mau berbagi antarsesama, apalagi dengan komunitas yang begitu menunggu uluran tangan untuk dibantu.
Di dalam bingkai konsumerisme ramadan masyarakat diajak untuk tidak mendahulukan pemenuhan konsumsi tanpa seleksi. Buatlah daftar belanja secara terencana untuk menyiasati kenaikan harga barang, sesuai kemampuan dan kebutuhan agar tidak panik keika berada di pasar atau pusat perbelanjaan.
Konon lagi di dalam setiap tradisi hari besar keagamaan kenaikan harga selalu dikendalikan sebuah kekuatan tangan tersembunyi (invisble hand). Langkah sederhana membuat daftar belanja secara terencana merupakan lompatan besar bagi gerakan konsumerisme.
Dienul Islam sangat menganjurkan pemenuhan kebutuhan hidup secara sederhana. Di dalam pandangan Islam kegiatan ekonomi merupakan tuntutan kehidupan, di samping merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah (bidimensial).
Aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana, memenuhi kebutuhan keluarga, memenuhi kebutuhan jangka panjang, menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan dan memberikan bantuan sosial dan sumbangan menuntut jalan Allah.
Konsumsi atau pemanfaatan merupakan hal penting dalam pengolahan kekayaan. Pemanfaatan adalah akhir dari keseluruhan proses produksi. Penggunaan harta harus diarahkan pada pilihan yang baik dan tepat agar kekayaan dapat dimanfaatkan pada jalan sebaik mungkin. Konsumen muslim tidak hanya menekankan aspek duniawi semata, tetapi juga jalan menuju kehidupan ukhrawi.
Kemanfaatan konsumsi di dunia harus memiliki nilai ibadah. Konsumen muslim selalu dapat meyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dalam mencapai ridha Allah, karena semua yang dihasilkan kemudian dikonsumsi ditujukan untuk kemaslahatan yang lebih besar (al-maslahat al-ummat). Semoga ramadan dapat digunakan sebagai bulan edukasi spritual ekonomi ramadan.
=========
Sumber: Sindo, 7 September 2009