post.png
Puasa-dan-Amanah.jpeg

Puasa dan Amanah Publik

POST DATE | 24 Maret 2023

Rifqi Rosyidi (2021) mengutip Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi mengatakan syariat puasa secara umum, terlebih khusus ibadah puasa ramadan adalah proses panjang yang dijadikan Allah Swt sebagai salah satu bentuk pembelajaran bagi umat Islam dalam rangka menumbuhkembangkan karakter amanah dalam kehidupannya. Substansi puasa (shiyâm) secara terminologi memiliki arti menahan diri dari makan dan minum di siang hari, serta dari semua aktivitas yang dapat membatalkan puasa tersebut.

Puasa adalah sebuah amanah yang dititippercayakan Allah Swt kepada manusia untuk ditunaikan dengan sempurna dan penuh tanggung jawab. Karena itu, dibutuhkan tenaga ekstra dan perjuangan yang berkelanjutan dalam menjaga tumbuh kembangnya sikap amanah ini.

Sebagai sebuah gambaran ilustratif dapat dikatakan seseorang yang sedang menyendiri di tempat yang sepi tanpa ada orang lain yang membersamainya ketika dalam kondisi lapar, haus dan kondisi tubuh yang lemas, maka dapat saja seseorang tertentu membatalkan puasanya dengan makan atau minum.

Meskipun demikian, orang lain tetap menganggapnya  tetap dalam kondisi berpuasa karena tidak mengetahui kalau orang tersebut sudah melakukan hal-hal yang merusak keabsahan ibadahnya, hanya dia sebagai pelaku dan Allah Swt yang mengetahuinya.

Sebab itu, ia senantiasa berusaha untuk tetap berpuasa dalam kesendirian dan di tengah keramaian sebagai substansi amanah yang harus dipertahankan dengan penuh tanggung jawab melalui proses pembiasaan dalam bentuk ibadah puasa. Ketika amanah ini disia-siakan, hakikatnya ia telah mengkhianati kepercayaan Allah Swt yang telah diberikan kepadanya.

Secara literal, term amanah yang dalam ungkapan sehari-hari diartikan sebagai sebuah sikap yang menampilkan integritas dirinya sebagai pribadi yang selalu dapat dipercaya. Amanah memiliki kesamaan akar kata dengan kata aman dan mu’min.  

Hal semacam ini secara tidak langsung mengandung pesan teo-spiritual yang menampilkan keterpautan makna antara aman dan amanah. Sekaligus membangun sebuah paradigma orang-orang yang beriman harus menumbuh-kembangkan sikap amanah di dalam kehidupan individual-sosialnya.

Sikap amanah seharusnya menjadi icon penting dan identitas utama bagi setiap orang yang beriman (mukmin) dalam mengemban tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi ini. Namun, faktanya kadar keimanan seseorang baik pada tataran kualitas maupun kuantitas sangat fluktuatif. Selalu mengalami pasang dan surut; kondisinya tidak stabil kadang naik dan sering turun (al-aman yazad wa yanqush).

Bahkan sangat mungkin suatu hilang tercerabut dari hati seorang hamba. Karena itu Allah Swt memberi keleluasaan bagi manusia untuk menjaga keberadaan iman dan mempertahankan kualitas dan kuantitasnya melalui ibadah yang disyariatkan kepada manusia.

Ibadah dalam segala bentuknya sejatinya bukanlah sebuah beban hidup yang memberatkan. Tetapi substansi ibadah adalah wujud pengejawantahan dari sifat kasih sayang Allah Swt kepada hamba-Nya dalam rangka menjamin mutu keimanan dan keislaman seseorang untuk meringankan beban kehidupan akhirat.

Ibadah puasa ramadan merupakan salah satu ibadah yang memiliki peran paling dominan dalam mengembangkan sikap amanah dan tanggung jawab. Karena itu, pada prinsipnya dapat dikatakan kepatuhan seorang hamba dalam menjalankan ibadah puasa merupakan indikator puncak keikhlasannya dalam beribadah dan menghamba kepada Allah Swt. 

Lebih dari itu peran dominan puasa ramadan dalam menumbuhkan sikap amanah untuk menjadi identitas utama kepribadian mukmin. Puasa ramadan memadukan semua jenis ibadah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah dengan tautan ibadah puasa. Dengan begitu, kesempurnaan ibadah puasa di bulan ramadan ini sangat dipengaruhi maksimalisasi ibadah-ibadah pendukung lainnya seperti salat fardlu.

Secara umum dan secara khusus melaksanakan qiyamul lail yang menjadi satu paket yang tidak terpisah dalam pelaksanaan ibadah Ramadan. Keduanya baik puasa maupun qiyam lail mengedepankan keikhlasan tingkat tinggi yang harusnya hanya diketahui oleh pelakunya dan Allah Swt saja.  

Sikap amanah yang berusaha dibangun melalui pelaksaan ibadah puasa secara leksikal juga mengandung makna al-shidqu; jujur dan benar. Orang jujur dan berkata benar adalah orang yang selalu menampilkan kepribadian dirinya sesuai dengan apa adanya dan tidak menampilkan kepribadian orang lain (hipokrit). Ketika berbicara selalu menyampikannya sesuai dengan kondisi sebenarnya tanpa menambah, mengurangi ataupun menutupi (bersahaja-apa adanya).

Kalau memahami paradigma al-shidqu ini dalam perspektif sifat wajib bagi Nabi dan Rasul, dapat dimaknai semua sifat wajib itu muaranya kembali kepada satu sifat yaitu al-shidqu. Kejujuran (al-shidqu) mendorong tumbuh kembangnya sifat tabligh; menyampaikan semua apa adanya. Kejujuran melahirkan sifat al-amanah, bertanggung jawab dan dapat dipercaya (sifat jujur, al-shidqu) itu dikenal dengan istilah transparansi dan akuntabilitas).

Jika dilihat pantulan fenomena yang ada, kecenderungan berlaku tidak jujur dan tidak berani mengambil risiko dalam menampilkan peran kebenaran ternyata sudah menjadi kultur mayoritas, baik pada tataran keberagamaan maupun kebangsaan. Misalnya, dalam konteks kualitas keberagamaan umat Islam di bulan ramadan, Indonesia memiliki contoh menarik yang merepresentasikan budaya hipokrit publik atas nama toleransi beragama menjadi pemandangan biasa.

Lihat saja, warung-kafe menampilkan wajah tertutup di siang hari sebagai bentuk menghargai orang yang sedang berpuasa, sementara di balik tampilan tertutup sebuah warung-kafe, tetap memberi pelayanan plus! Karena bukan hanya melayani kebutuhan makan dan minum yang menjadi larangan dalam berpuasa tetapi privasi orang yang tidak melaksanakan puasa juga terjaga.

Fenomena ini menarik karena Indonesia adalah negara dengan umat Islam sebagai penduduk mayoritas. Dapat dipastikan pula mayoritas pengelola warung itu adalah muslim. Mayoritas penikmat layanan warung itu juga muslim. Lebih menarik lagi fenomena ini terjadi di bulan ramadan ketika nilai-nilai kejujuran dan amanah menjadi target utama yang diproyeksikan menjadi karakter sosial.

Khoiruddin Bashori (2019) menyebut sepatutnya puasa menjadi bagian dari proses belajar yang berkesinambungan. Baik dalam konteks pribadi, bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Dengan berpuasa, pemimpin dilatih untuk lebih dapat mengendalikan diri dan meningkatkan kemampuan reflektif dalam menjalani kehidupan. Puasa melatih manusia berlaku zuhud, tetapi bukan dalam makna berpaling dari dunia.

Jika pengertian ini yang diambil seolah bertabrakan dengan perintah Tuhan, innii jaa'ilun fil ardli khaliifah (QS. Al-Baqarah, 2: 30), “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Khalifah adalah pemimpin yang diberi tugas utama untuk memakmurkannya (QS. Hud, 11: 61). Zuhud sebaiknya dimaknai, seperti kata Rumi, mempunyai kapasitas untuk menyapih. Memiliki 'dunia' tetapi tidak menempel di hati. Menjadi penguasa tetapi tidak terpenjara oleh kekuasaannya.

Kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan, tidak berlaku bagi pribadi zuhud. Bagi mereka, amanah kekuasaan pasti dipergunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan pubik. Zuhud dapat pula dimaknai sebagai kesabaran untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan, betapa pun beratnya.

Dalam atmosfir seperti itu, pemegang amanah publik yang otentik diharapkan tetap dapat istikamah di jalan Tuhan, bukan terseret dalam pusaran pragmatisme politik yang sering bertabrakan dengan nilai-nilai ilahiyah.

Kejujuran dan kesungguhan melayani, dua ciri penting pemegang amanah publik nan zuhud. Dalam keadaan apa pun semestinya karakter itu tidak boleh ditukar dengan kebohongan-sikap hipokrit. Kekuasaan yang diperoleh dengan jalan dusta pasti jauh dari keberkahan. Transaksional ke transendental puasa diharapkan dapat menjadi momentum hijrah bagi pemegang amanah publik, dari transaksional menuju transendental.

Selama berpuasa, pemegang amanah publik diharapkan lebih memahami, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)… Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (QS. Al-Hujurat, 49: 11).

Puasa dan amanah publik dapat dilihat dalam dua perspektif, yakni: Pertama, sebagai ajang pelatihan kesehatan mental dan pikiran secara spiritual. Kedua, sebagai media yang ampuh untuk internalisasi nilai pendidikan karakter ke dalam diri masing-masing untuk menjadi bagian dari proses kepemimpinan dan respons kemanusiaan.

Puasa pada dasarnya menciptakan ragam karakter yang utama sebagai prasyarat pemimpin ideal. Oleh karenanya, dalam konteks misi ibadah puasa, maka karakteristik pemegang amanah publik ideal termanifestasi dalam nilai-nilai ketakwaan sebagai buah ritual puasa yang kemudian dapat diaktualisasikan para pemegang amanah publik secara riel.

Sesungguhnya, aplikasi nilai-nilai puasa dan hubungannya dengan aktualisasi amanah publik terletak pada etos pemagang amanah publik mampu menguatkan persepsi tentang dimensi eksoterik ibadah puasa itu.

Lebih dari itu, puasa dapat dipastikan memiliki keterkaitan erat dengan fakta kehidupan sosial yang empirik dalam memengaruhi sikap pemagang amanah publik serta memberikan landasan etik moral dalam menjalankan amanahnya.

Bagi pemegang amanah publik, ia tak hanya hanya sebagai insan yang berpuasa, tetapi juga mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menahan keinginan duniawinya. Menegakkan keadilan dan melaksanakan mandat publik, termasuk peduli dalam urusan respons kemanusiaan, kebangsaan dan kerakyatan.

============

Sumber: Waspada, Jumat, 31 Maret 2023, hlm. B5



Tag: Puasa, , , , , ,

Post Terkait

Komentar