post.png
MAHKAMAH_KONSTITUSI.jpg

Nirlogika Pemberhentian Hakim Aswanto

POST DATE | 14 Oktober 2022

Pemberhentian hakim Aswanto oleh DPR seolah melegitimasi jargon yang mengatakan “tiada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Satire itu tepat untuk menggambarkan kasus DPR menarik kepercayaan ke Aswanto sebagai hakim konstitusi dan menggantinya dengan Guntur Hamzah. Penarikan hakim Aswanto dilakukan melalui Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 29 September 2022.

Sebelumnya DPR yang memilih Aswanto, dan atas kepentingannya DPR memberhentikan hakim Aswanto dari MK. Dalam rapat paripurna tersebut, persetujuan pergantian hakim Aswanto telah disetujui lima fraksi, 1 fraksi setuju dengan catatan sesuai mekanisme, 1 fraksi menolak dan 2 fraksi tidak hadir (https://tirto.id/persoalan-di-balik-penggantian-hakim-konstitusi-aswanto-oleh-dpr-gwUt, 4 Oktober 2022).

Sontak saja, pergantian Aswanto yang terkesan tidak transparan tersebut pun menimbulkan polemik dan public terbelah. Bahkan sejumlah mantan hakim konstitusi ikut mempertanyakan keputusan DPR tersebut. Mereka menilai keputusan DPR tidak berdasar/nirlogika. Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dkk ingin melakukan protes ke DPR terkait kebijakan sepihak tersebut.

Mantan Hakim MK, Hamdan Zoelva berpendapat kasus ini merupakan kejadian luar biasa yang tak pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia dan pertanda prinsip negara hukum semakin rusak. Betapa tidak, karena insiden ini baru pertama kali terjadi.

Hakim Aswanto ditarik di tengah jabatannya atau diberhentikan tanpa alasan apa pun. Hamdan mengutarakan kekhawatiran independensi hakim MK ke depannya. Jika pemberhentian hakim Aswanto ini dibenarkan nantinya berpotensi setiap saat hakim yang tidak disukai oleh DPR dapat ditarik.

Bakal ada preseden, jika ada hakim yang tidak sesuai dengan kemauan Presiden atau Mahkamah Agung, setiap saat dapat begitu saja ditarik. Tentu saja ini masalah besar bagi independensi kekuasaan kehakiman, padahal telah dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945.

Cara berpikir dan logika yang digunakan DPR itu adalah tindakan salah kaprah, sehingga pada akhirnya DPR telah melakukan abuse of power (https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckrzgm2813xo, 4 Oktober 2022),

Karena itu, perlu diingatkan lagi jika desain ketatanegaraan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden dan MA sesungguhnya bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut. Tetapi untuk memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi MK sebab posisinya sebagai peradilan konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.

Apalagi dalam Undang Undang MK sudah diatur tentang tata cara pemberhentian hakim. Pasal 23 UU MK hakim MK hanya dapat diberhentikan secara terhomat dan tidak terhormat.

Hakim MK diberhentikan dengan hormat ketika yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, telah masuk usia 70 tahun, dan sakit secara terus menerus selama tiga bulan.

Hakim MK diberhentikan dengan tidak hormat ketika dijatuhi pidana penjara oleh pengadilan, melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan, dan tidak hadir dalam persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama lima kali berturut-berurut tanpa alasan yang sah.

Tata cara pemberhentian hakim MK lebih rinci juga diatur dalam Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemberhentian Hakim Konstitusi. Sesuai norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK, jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik MK.

Ketentuan lainnya adalah melanggar sumpah atau janji jabatan dengan menghambat MK memberi putusan, melanggar larangan rangkap jabatan dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku.

Dalih DPR

Dalih DPR berhentikan hakim Aswanto adalah karena hakim Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR banyak menganulir produk Undang-Undang yang dibuat DPR. Produk-produk DPR dianulir hakim Aswanto, padahal hakim Aswanto wakilnya atau representasi dari DPR (https://www.bbc.com/indonesia/articles/ckrzgm2813xo, 4 Oktober 2022). Hakim Aswanto adalah salah satu hakim MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Soal alasan pencopotan hakim Aswanto karena sering menganulir produk hukum DPR, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai itu keliru dan sangat politis. Bivitri menyatakan alasan tersebut seakan-akan DPR ingin menghukum hakim yang membatalkan produk undang-undang buatan mereka.

Padahal seorang hakim tidak boleh ditarik karena putusannya tidak memuaskan. Harus dipastikan sesungguhnya independensi peradilan itu prinsip penting dan diakui secara universal. Apa pun dalilnya hakim tidak boleh 'dievaluasi' di tengah masa jabatannya berdasarkan penilaian  atas putusannya (https://fokus.tempo.co/read/1643263/langkah-dpr-berhentikan-aswanto-ancam-independensi-mahkamah-konstitusi, 9 Oktober 2022).

Hakim Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak dapat diintervensi atau bahkan dipengaruhi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menjaga dan menegakkan konstitusi. Sikap tersebut juga sangat bertolak belakang dengan semangat menjaga independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi dalam mengadili produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang (https://news.detik.com/berita/d-6337983/melihat-lagi-dengan-jernih-soal-penggantian-hakim-mk-aswanto-oleh-dpr, 9 Oktober 2002).

I Dewa Gede Palguna (mantan hakim MK) juga menyoal dasar hukum penggantian hakim Aswanto. Keputusan DPR tersebut merupakan respon terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh MK dengan mengirimkan Surat Kepada DPR Nomor 3010/KP.10/07/2022.

Surat dari MK dimaksud adalah upaya pemberitahuan atas putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang uji Pasal 87 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 sebagai perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Jika dilihat dari sudut pandang redaksi surat MK itu saja sudah patut dipertanyakan dari mana datangnya penalaran yang memberikan dasar argumentasi bahwa surat itu adalah surat yang meminta DPR untuk memberikan konfirmasi? Redaksi surat MK di atas terang benderang menyebut MK bukan meminta, melainkan menyampaikan konfirmasi kepada lembaga-lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung).

Sebab itu aksi MK untuk memberitahukan adalah tindak lanjut putusan atas Pasal 87 huruf b dalam gugatan tersebut. Selain itu, isi surat di bagian akhir adalah “hakim konstitusi berasal dari usulan lembaga DPR yang saat ini sedang menjabat untuk dikonfirmasi adalah..." Tidak boleh dimaknai keluar dari konteks.

Palguna mengingatkan Pasal 23 UU MK bahwa alasan "karena tidak diperpanjang lagi oleh lembaga pengusul” tidak disebutkan sebagai bagian dari alasan pemberhentian hakim konstitusi. Jadi, DPR juga tidak dapat memberhentikan hakim konstitusi karena harus diajukan oleh Ketua MK sesuai Pasal 23 ayat (4) UU MK.

Alasan DPR memberhentikan hakim Aswanto karena sering menganulir peraturan yang dibuat oleh DPR adalah alasan yang tidak ada dalam UU. Sebab, jelang dua dekade MK berdiri, pemberhentian hakim MK selalu merujuk pada UU MK. Sekali lagi, pemberhentian hakim konstitusi karena alasan putusannya, belum pernah ada!

Lalu, bagaimana Presiden menindaklanjuti surat yang dikirimkan oleh DPR soal pemberhentan hakim konstitusi Aswanto itu? Demikian juga dengan sikap MA dan Presiden atas surat konfirmasi serupa dari MK itu? Apakah akan menarik kepercayaan dan memilih hakim MK baru seperti langkah anggota DPR? Atau tetap mempertahankan perwakilannya di MK? Mari cermati pada episode berikutnya.

============

Sumber: https://waspada.id/opini/nirlogika-pemberhentian-hakim-aswanto/



Tag: , , , ,

Post Terkait

Komentar