post.png
Tangan-Jabat-Tolong.jpg

Mudik dan Kesalehan Otentik

POST DATE | 16 April 2023

 

Tradisi mudik dan momen menjelang Ramadan ataupun Lebaran merupakan suasana dan momen yang sangat dinanti dan meriah. Seminggu menjelang Lebaran banyak bermunculan pasar atau toko yang menawarkan berbagai makanan dan minuman “khas” Lebaran seperti kue-kue kering, ketupat, lontong, opor ayam, rendang, sirup, dan lain sebagainya. Selain bersilaturahim dengan berkumpul dan menyantap makanan bersama keluarga, lebaran juga identik dengan berziarah.

Mudik menjadi istilah yang umum dipakai untuk menggambarkan kegiatan seseorang pulang ke kampung halaman. Tradisi ini dipakai bagi umat muslim yang merayakan momen lebaran Idulfitri di tanah kelahirannya. Istilah mudik berasal dari kata udik. Diambil dari bahasa Melayu udik yang artinya hulu atau ujung.

Sebab, pada masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah selesai urusannya, maka kembali pulang ke hulu pada sore harinya (Gusti Grehenson, 2022).

Pendapat Rakhmat Hidayat (2013) kata 'mudik' itu berakar dari kata 'udik'. Secara harfiah, udik itu berarti kampung atau desa yang lawan katanya adalah kota. Ini seperti istilah Arab 'badui' sebagai lawan dari kata 'hadhory'. Secara sederhana dimaknai mudik adalah kembali ke kampung halaman. Makna kembali ke kampung halaman tidak hanya didefinisikan secara fisik, tetapi lebih menunjukkan kembali ke kampung halaman sebagai bagian kecintaan sosial kultural terhadap kampung halamannya.

Kata Heddy Shri Ahimsa-Putra (2022) istilah mudik mulai dikenal luas di era tahun 1970-an, setelah pada masa orde baru melakukan pembangunan pusat pertumbuhan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan yang menyebabkan orang melakukan urbanisasi pindah ke kota untuk menetap dan mencari pekerjaan.

Mey S (2010) mencatat mudik atau pulang kampung telah menjadi fenomena. Terutama bagi mereka para musafir yang pergi dari daerah kampungnya menyerbu ibu kota. Mudik adalah ritus budaya dalam siklus tahunan yang hampir semua aspeknya tak tergantikan dengan apa pun, dan dengan cara apa pun.

Padahal, jika saja mau, pulang kampung tak harus menunggu setahun sekali. Pulang kampung dapat dilakukan kapan saja, dengan cara apa saja. Namun, fenomena mudik yang satu ini hanya menemukan maknanya ketika pulang ke kampung pada saat Idul Fitri.

Secara sosiologis menurut Tiara Risti Lavenda (2022), tradisi mudik juga terjadi di beberapa negara lain. Bagi warga Malaysia biasa menyebut Hari raya Idul Fitri atau Lebaran dengan istilah Hari raya Puasa. Malaysia memiliki tradisi mudik yang biasa mereka sebut “balek kampung”. Warga Malaysia balik kampung dimulai sejak seminggu sebelum Hari raya Puasa tiba.

Tradisi mudik juga ditemukan di Turki. Namun, Hari raya Idul Fitri atau Lebaran di Turki lebih popular dengan istilah Seker Bayram. Masyarakat Turki memanfaatkan momen Seker Bayram ini selain untuk bersilaturahim juga untuk berziarah yang dilakukan secara besar-besaran. Bahkan, dengan adanya tradisi berziarah saat mudik ini, membuat banyak bermunculan pasar bunga di berbagai daerah di Turki menjelang datangnya arus mudik.

Tradisi mudik bukan hanya saat Hari raya Idul Fitri, melainkan juga saat Hari raya Idul Adha, yakni di negara Mesir. Hal ini dikarenakan perayaan Hari raya Idul Adha kerap dirayakan lebih meriah dan Hari raya Idul Fitri dianggap hari raya kecil.

Di Arab Saudi tradisi mudik juga sangat identik dengan perayaan Lebaran. Menjelang Lebaran, banyak perantau yang mulai pulang ke kampung halamannya. Di Arab Saudi, perayaan Lebaran sangat meriah. Rumah-rumah banyak dihiasi dengan dekorasi meriah. Berbagai festival yang meriah kerap diselenggarakan seperti pergelaran teater, pertunjukan musik, dan agenda kesenian lainnya.

Tradisi mudik di India lebih heboh dan perayaan hari Lebaran lebih meriah dari Indonesia. Transportasi umum seperti kereta api akan penuh sesak hingga banyak masyarakat yang bergelantungan di jendela, pintu, hingga atap kereta. Meski begitu, tradisi mudik di India akan mencapai puncaknya ketika hari Festival of Lights atau Diwali yang merupakan hari besar umat Hindu yang memang dirayakan secara besar-besaran di India.

Praktik mudik jug terdapat di China meski puncaknya bukan saat momen Lebaran. Puncak tradisi mudik terjadi saat hari raya terbesar di China yaitu tahun baru Imlek. Amerika Serikat juga memiliki tradisi mudik pada hari perayaan besar yakni merayakan hari “Thanksgiving” sebagai hari pengucapan syukur dengan cara berkumpul bersama keluarga.

Rakhmat Hidayat (2013) mengatakan fenomena mudik menemukan ruang otentisitasnya bagi warga Indonesia. Meminjam Max Weber, mudik maupun kampung halaman menjadi 'panggilan' (calling) bagi jutaan orang untuk menengok kampung halamannya.

Menguatnya tradisi mudik dikonstruksikan sebagai menguatnya kebersamaan dan keterikatan sosial. Mudik melepaskan ego pribadi, ego primordial, maupun ego ekonomi sosial. Warga berlomba-lomba dan berjuang untuk melaksanakan mudik. Keluarga, tetangga, maupun kerabat di kampung halaman menjelang Lebaran sudah menanti kehadiran para pemudik.

Esensi Mudik: Kesalehan Otentik

Bagi Yuniman Taqwa Nurdin (2021) mudik bagaikan “kado tahunan” yang diberikan Allah Swt atas bulan penuh rahmat. Siapa pun orangnya akan mendapat multiplier effect atas momentum itu. Para pedagang meraup untung berlipat-lipat dibandingkan dari hari biasanya; para pekerja mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) agar dapat berbagi dengan sesamanya. Itulah nilai kecintaan Sang Khalik terhadap umatnya. Dia menciptakan mekanisme sosial untuk dapat berbagi atas berkah yang diperolehnya kepada pihak lain.

Muhbib Abdul Wahab (2022) esensi Idul Fitri bukanlah mudik fisik dari kota ke kampung halaman, tetapi mudik mental spiritual, mudik ruhani dari perbudakan hawa nafsu menuju penyucian diri (tazkiyat an-nafsi) dan spiritualisasi hati.

Mudik ke kampung halaman memang menjadi “tradisi nasional”, namun perayaan Idul Fitri dengan mengumandangkan takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil, melaksanakan shalat berjamaah sejatinya merupakan ikhtiar memudikkan fitrah kemanusiaan menuju jalan kesucian, ketaatan, dan kedamaian.

Mudik spiritual dalam momentum Idul Fitri idealnya dapat mengokohkan persaudaraan iman dan kohesivitas sosial melalui silaturahim keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Sebab itu, Idul Fitri dan silaturahim merupakan modal sosial yang perlu dijaga dan dikembangkan sebagai aset perekat persatuan umat dan bangsa.

Secara substansial pesan utama Idul Fitri adalah peneguhan dan perekatan nilai-nilai kemanusiaan paling asasi: tetap hidup sehat, aman, damai dan harmoni dalam bingkai silaturrahmi keumatan dan kebangsaan.

Karena itu, sebelum ibadah Ramadan diakhiri, zakat fitri wajib dibayarkan sebagai bukti rasa empati, peduli, dan cinta kasih terhadap fakir miskin.

Zakat fitri tidak hanya berfungsi sebagai pembersih jiwa muzakki (pembayar zakat) dari penyakit bakhil dan kikir, tetapi juga berperan signifikan dalam pembahagiaan fakir miskin dan peningkatan harkat martabat kemanusiaan mustahiq (kelompok yang berhak menerima zakat).

Idul Fitri mendidik lulusan madrasah Ramadan berjiwa filantropis, memiliki empati dan kepedulian sosial tinggi dalam berbagi rezeki, mengasihi dan meringankan beban penderitaan sesama dengan uluran tangan kedermawanannya.

Karena itu, ritualitas mudik fisik harus ditransformasi menjadi mudik mental spiritual dengan meningkatkan kesucian hati dan pikiran menuju persaudaraan kemanusiaan sejati.

Mudik paling ideal dalam konteks Idul Fitri adalah mudik spiritual dengan bekal iman, ilmu, dan amal saleh. Pendidikan keimanan dan ketakwaan yang dihabituasi selama Ramadan idealnya dapat diwujudkan dalam bentuk kesalehan autentik berupa akhlak mulia dan karakter positif, seperti: jujur, benar, sabar, tulus, disiplin, sopan santun, peduli, empati, hidup harmoni, toleransi, damai, dan sebagainya.

Kesalehan otentik itu tidak saja perlu diaktualisasikan dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan, tetapi juga penting dikembangkan dalam rangka eliminasi “kesalehan semu dan palsu” karena dilakukan semata untuk pencitraan sosial.

Kesalehan otentik adalah kesalehan lahir batin dengan spirit kemanusiaan, paralel dengan harapan lulusan Ramadan untuk memohon maaf lahir dan batin kepada sesama. Kesalehan autentik ditunjukkan dengan amal sosial kemanusiaan yang memihak kepada mereka yang kurang beruntung dan kaum lemah lainnya (mustadh’afin).

Lulusan Ramadan yang berkesalehan otentik pasti enggan menjadi pendusta agamanya. Karena, ajaran agama diyakini, dipahami, dan dihayati untuk diamalkan, bukan didustakan. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Dialah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Karena itu, celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya (pencitraan), dan enggan memberikan bantuan (kemanusiaan) (QS. al-Ma’un, 107: 1-7)

Kesalehan otentik itu menggembirakan, membahagiakan, dan memberdayakan sesama, tidak menyengsarakan, melemahkan, dan memiskinkan sesama. Karena itu, Idul Fitri dirayakan dengan shalat berjamaah sebagai simbol kebersamaan dan kesatuan, lalu dilanjutkan saling bermaaf-maafan dan silaturahim sebagai bukti ketakwaan dan kohesivitas sosial.

Salah satu indikator kesalehan otentik adalah kemampuan pengendalian diri (sejurus dengan arti shiyam) dalam menjaga lisan (perkataan), perbutan, atau kekuasaannya untuk tidak menyakiti, menzalimi, menebar hoaks, ujaran kebencian, dan memfitnah orang lain.

Kesalehan autentik diwujudkan dalam bentuk kesantunan, keberadaban, dan kewelasasihan. Rasulullah Saw menegaskan, “Orang Islam sejati adalah orang yang lisan dan tangannya (perbuatan dan kekuasaannya) dapat membuat orang lain hidup aman, damai, selamat, dan sejahtera” (HR. Muslim).

============

Sumber: Waspada, Kamis, 20 April 2023, hlm. B3

 

 



Tag: , , , , ,

Post Terkait

Komentar