POST DATE | 10 Januari 2023
Wacana kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk menyadap pembicaraan hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik kembali populer selepas 2 hakim agung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun, kewenangan tersebut hanya dapat dilakukan jika KY meminta bantuan penegak hukum seperti Kepolisian (Polri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau Kejaksaan Agung.
Aturan tersebut telah tercantum pada Pasal 20 ayat (3) dan (4) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Ayat (3) berbunyi, “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.” Ayat (4) berbunyi, “Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan KY sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”
Rumusan Pasal 20 ayat (3 dan 4) UU KY tersebut mensyaratkan KY dapat meminta aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan terhadap hakim apabila KY mempunyai bukti cukup bahwa hakim tersebut melakukan pelanggaran kode etik. Permintaan KY terhadap aparat penegak hukum bersifat mengikat.
Karena itu aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan KY tersebut. Permintaan penyadapan tersebut hanya untuk upaya preventif atau pencegahan, bukan pada pelanggaran yang tengah ditangani. Tentu hakim yang akan direkomendasikan untuk disadap, jika sudah memiliki indikasi kuat melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku.
Namun, pada kenyataannya, penyadapan yang diminta tak semudah yang dituliskan dalam Undang-Undang. Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmito mengatakan
KY sudah coba membuat nota kesepahaman dengan lembaga penegak hukum seperti Polri, termasuk dengan Kejaksaan Agung dan KPK. Tetapi ternyata dalam implementasinya tidak semudah itu (detikNews, Rabu, 28 Des 2022). Masalahnya, lembaga penegak hukum yang ada tidak menganggap KY sebagai lembaga penegak hukum yang dapat melakukan penyadapan.
Salah satu institusi penegak hukum yang berwenang menurut undang-undang untuk melakukan penyadapan ini adalah KPK. KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Berkaitan dengan penyadapan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mempunyai maksud: Pertama, penegak hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Kedua, penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakan hukum. Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan berdasarkan UU (https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=3492).
Diah Kusuma Ningrum (2018) dalam kajiannya berpendapat secara prosedural KY harus meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan telepon hakim berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang kuat dari temuan KY atau laporan dari masyarakat, bukan hanya sekadar dugaan. Hal ini dilakukan agar langkah penyadapan benar-benar dapat mencegah para hakim untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dan menciderai keluhuran dan martabat perilaku hakim.
Secara normatif disebutkan hanya lembaga penegak hukum yang boleh melakukan penyadapan, sementara fungsi KY tidak terkait penegakan hukum melainkan sebatas penegakan etik. Lembaga penegak hukum lain tidak dapat melakukan penyadapan kecuali untuk tindak pidana luar biasa atau extraordinary seperti kasus korupsi, terorisme, dan narkotika (Kompas.com, 28/12/2022).
Harus diakui, kepentingan KY untuk menyadap berada di luar kepentingan tindak pidana yang disebut sebelumnya, tetapi KY mempunyai landasan hukum yang kuat untuk melakukan penyadapan hakim. Karena itu, sebagai solusi untuk mengatasi kesulitan tersebut KY kemudian mengambil jalan memutar, mengusulkan kepada lembaga legislatif agar kewenangan penyadapan KY tak lagi bergantung pada penegak hukum lain.
Kewenangan penyadapan itu sepatutnya bersifat mandiri, sehingga KY lebih leluasa dalam melakukan penyadapan. Tentu dalam proses tersebut, tidak semua hakim disadap, tapi yang ada indikasi, ada temuan, terdapat (indikasi) korupsi, selingkuh dan sebagainya. Intinya, jika ada indikasi kuat potensi pelanggaran etik baru dilakukan penyadapan (Kompas.com, 28/12/2022).
Tidak hanya KY yang berkeinginan kuat menyadap hakim, Mahkamah Agung (MA) pun meyakini dapat dan mampu membersihkan para aparatur yang bermasalah dalam waktu 1 tahun apabila punya kewenangan penyadapan layaknya KPK. Wakil Ketua MA Bidang Nonyudisial Sunarto mengatakan, "Saya janji dalam waktu 1 tahun, sebanyak 17,28 persen yang berpotensi bermasalah itu kami habisi.”
Angka 17,28 persen itu merujuk hasil survei Indeks Integritas Nasional yang diadakan lembaga antirasuah (KPK). Cuma sayangnya, MA tidak memiliki kewenangan atau kuasa menyadap aparatur pengadilan yang berpotensi bermasalah layaknya KPK atau Polri. Bagaimana kami menyeberangi Selat Sunda, tetapi tidak dikasih pelampung, sementara ombaknya sebegitu besarnya? (Mediaindonesia, 09 Desember 2022).
Prokontra
Sebenarnya isu penyadapan pembicaraan hakim sudah pernah ramai pada waktu proses legislasi revisi UU KY di DPR. Ketika itu, pemberian kewenangan penyadapan ini bukan tanpa kritikan, sejumlah LSM menyatakan penolakannya. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Astriyani Achmad mengingatkan KY tidak berhak memiliki kewenangan penyadapan karena lembaga ini tidak menjalankan fungsi penegakan hukum. Penyadapan hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum dalam proses pro-justitia.
Astriyani menambahkan peraturan perundang-undangan di Indonesia tegas menyatakan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum. Pasal 31 ayat (1) UU ITE misalnya menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.”
Begitupun, Pasal 31 ayat (3) memberikan pengecualian bahwa intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang diperbolehkan melakukan penyadapan. Sekali lagi, pihak yang kontra menyatakan KY itu hanya mengawasi KEPPH. KY bukan lembaga penegak hukum (www.hukumonline.com, 3 Mei 2011).
Dalil lain adalah Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pasal 19 ayat (1) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga menyatakan hal serupa. Tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan UU dan harus diatur hukum acaranya. Jadi, tidak dapat dilakukan sembarangan meski dalam rangka penegakan hukum.
Selain ada yang kontra, tetapi banyak juga pihak yang pro/setuju dengan upaya menyadap pembicaraan hakim. Deretan pakar seperti Moh. Mahfud MD, Saldi Isra dan Asep Warlan Yusuf tak mempersoalkan kewenangan KY menyadap pembicaraan hakim yang nakal. Apalagi secara yuridis telah dipayungi hukum UU KY dan itu adalah bagian dari fungsi pengawasan terhadap perilkau hakim yang dinilai berpotensi melanggar KEPPH (TEMPO Interaktif, 14 November 2011).
Bagi Saldi Isra yang terpenting KY tetap bekerjasama dengan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Menurut Saldi penyadapan itu sebagai langkah perbaikan bagi wajah hukum dan peradilan di Indonesia. Pakar hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menyatakan penyadapan berguna untuk mengungkapkan hakim-hakim yang diindikasikan bermasalah. Hakim sangat rentan menerima suap terkait dengan perkara yang ditanganinya.
Apalagi, dalam kasus suap, pemberi dan penerima sama-sama terkena hukuman. Karena itu, jadi banyak yang tidak berani mengatakan dirinya disuap karena berpotensi dijerat juga. Tentu dengan adanya kewenangan penyadapan, semua dapat terungkap.
Dukungan menyadap pembicaraan hakim juga diberikan kalangan DPR. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk mengungkap pertanyaan besar banyaknya kasus mafia hukum yng telah menyeret sejumlah nama hakim. Posisi hakim sebagai pemutus perkara di pengadilan disorot karena rawan menerima suap. Langkah bagus untuk mengendus adakah dugaan kongkalikong bawah meja seperti suap dan seterusnya dalam penanganan perkara oleh hakim. Peran KY menjadi krusial untuk memulihkan citra hukum dengan memiliki hak pengawasan lebih kepada hakim (https://www.jpnn.com/news/politisi-dpr-usul-ky-boleh-menyadap, 2 April 2010).
Bambang Soesatyo mengatakan posisi KY lebih ideal dengan adanya penguatan kewenangan sekaligus juga bertujuan meningkatkan kualitas putusan hakim. Hakim yang terbukti bersih tentu tidak memiliki beban jika disadap!
Sebenarnya apa urgensinya menyadap hakim? Isu penyadapan kembali menyeruak di ruang publik terkait sikap MA yang menyatakan sudah angkat tangan, bahkan seakan menyerah dalam menghilangkan makelar kasus (markus) di tubuh mereka. Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Sunarto, beralasan saat ini yang paling mungkin dilakukan MA adalah mempersempit ruang gerak markus.
Sunarto menegaskan, "Markusnya lebih pintar. Kita cari metode untuk mempersempit kerjanya markus. Tapi untuk menghilangkan markus, mohon maaf saya angkat tangan, enggak bisa. Tapi meminimalisir markus, Insyaallah dilakukan" (Detikcom, 10/12/2022).
Di tengah prahara MA dalam membenahi perilaku dan integritas para hakim, mengefektifkan kewenangan KY menyadap hakim adalah amunisi yang mujarab jika dipergunakan secara selektif dan tepat guna. Adanya wewenang penyadapan dapat mengoptimalkan kinerja KY dalam memutus mata rantai hakim nakal dan mafia peradilan.
============
Sumber: Analisa, 11 Januari 2023, hlm. 12