post.png
MENJAGA_KEADABAN_PUBLIK.gif

Menjaga Keadaban Publik

POST DATE | 26 Maret 2018

Apakah benar keadaban publik nyaris lenyap dari ruang publik kita? Jika merujuk pada rentetan peristiwa main hakim sendiri (eigenrichting), -tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum-, tentu pernyataan itu sulit dibantah. Adanya kasus main hakim sendiri merupakan cermin hipermoralitas yang terjadi di masyarakat.

Sekadar contoh, belum lama berselang media sosial diramaikan dengan meninggalnya seseorang berinisial MA yang diduga mencuri amplifier di Mushalla Al-Hidayah.

Kematian korban sangat tragis, sehingga berita mudah tersebar (viral) dan mudah diakses oleh warganet. Kematian akibat 'main hakim sendiri' itu berawal ketika MA shalat di Mushalla Al-Hidayah di Kecamatan Babelan-Bekasi.

Kepada polisi, penjaga mushalla itu mengaku sempat melihat MA shalat. Ketika MA meninggalkan tempat ibadah itu, sang penjaga mushalla mengklaim melihat pengeras suara hilang. Lalu, massa di sekitar mushalla itu dan mencari orang yang membawa kabur amplifier itu.

Setelah tahu yang membawa adalah MA, mereka mengejar dan meneriakinya maling. Kemudian terjadilah perbuatan main hakim sendiri berujung meninggalnya korban. Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan sejajar dengan pelanggaran hak-hak orang lain.

Memang banyak pernyataan yang menyatakan keadaban publik kita telah rubuh. Alasannya, simak saja daftar berita berkaitan dengan tindak kriminal di banyak tempat. Orang menjadi mudah diprovokasi melakukan tindakan kekerasan.

Selain masalah penegakan hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, tindakan main hakim sendiri mudah terjadi, karena tradisi klarifikasi, verifikasi, chek and recheck (tabayyun) dalam menerima kabar peristiwa (QS. 49: 6) makin tergerus.

Padahal tradisi klarifikasi penting digunakan dalam rangka mencari keabsahan kembali kabar peristiwa yang diterima, baik dalam bentuk teks atau gambar yang telah dimodifikasi dengan tulisan (meme). Sesuatu yang sepatutnya dapat dilakukan kepada pengirimnya atau dapat langsung kepada individu yang merasa dirugikan dari kabar tersebut. 

Junaidi Abdul Munia (2017) mengambil contoh satire massa tanpa tabayyun di salah satu film Warkop DKI berjudul Saya Suka Kamu Punya (1987). Digambarkan seorang wanita dijambret oleh pria berkaus merah.

Massa mengejar si penjambret, tapi kehilangan jejak. Lalu, Kasino yang saat itu berkaus merah, jadi sasaran amukan massa. Korban penjambretan sadar bukan Kasino pelakunya. Kasino tidak terima dan menunjuk pria berkaus merah lain yang lewat, dan pria itu jadi sasaran amukan berikutnya.

Peristiwa di dunia nyata, juga terjadi pada media sosial. Di media sosial sering didapati orang komentar marah-marah, mengeluarkan bahasa kasar, caci maki, hanya ketika membaca sebuah judul dari tautan yang dibagikan.

Keengganan (atau kemalasan?) untuk membaca berita (informasi) secara utuh merupakan salah satu indikator kalau kita tidak lagi memiliki tradisi iqra’ (Bacalah dengan nama Tuhanmu!). Pengguna atau jamaah medsos begitu mudah menghujat sesuatu yang berbeda tanpa benar-benar tahu duduk perkaranya.

Pelbagai kasus anarkisme verbal maupun fisik (perundungan, perisakan) menunjukkan ada krisis akut berkaitan dengan keadaban publik (public civility). Publik yang beradab ditandai dengan bagaimana mereka memahami orang lain (the others) yang menjadi bagian integral dalam diri mereka (masyarakat).

Sebenarnya pantulan budaya kebiasaan memberi senyuman, salam, dan sapaan saat bertemu orang yang lebih tua ataupun teman sebaya, bahkan orang lain, telah menjadi tradisi yang melekat pada diri, bahkan gambaran bagi orang Indonesia.

Lebih dari itu, juga melekat budaya sifatnya yang kekeluargaan dan saling tolong menolong. Semuanya itu sebenarnya tak lepas dari identitas publik kita yang terbangun sejak berabad-abad lalu.

Moralitas dan Keadaban Publik

Mengurai masalah tersebut menurut Reza A.A Wattimena (2010) sangat perlu mengukuhkan moralitas sebagai unsur pertama dalam membangun keadaban publik. Dalam negara Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, kini seperti absen dalam masyarakat kita, digantikan perasaan paranoid (curiga) kepada yang lain.

Masyarakat yang dipenuhi kecurigaan rentan menghadirkan aksi destruktif (main hakim sendiri) ketika apa yang diyakininya dikoyak-koyak oleh pihak lain.

Dari tingkatan elitis hingga masyarakat arus bawah, degradasi moral menjadi benalu dan bahaya laten yang siap meledak kapan saja. Sulit dibantah, tindakan main hakim sendiri merupakan ekspresi ketidakpercayaan pada lembaga hukum dan aparat.

Hukum yang diidealkan tanpa pandang bulu, dianggap masih “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Atau bahkan diplesetkan dengan “hukum tumpul ke kawan tapi tajam ke lawan?” Tentu persepsi demikian perlu direnung ulang agar ada solusi atas masalah keadaban tersebut.

Reza A.A Wattimena (2010) menawarkan ide bahwa jika mau melihat secara jernih sesungguhnya keadaban publik dibentuk melalui tiga unsur, yakni keinginan untuk hidup bersama, empati, dan kepatuhan pada aturan yang adil.

Tanpa ketiga hal ini, keadaban publik tidak akan tercipta. Tanpa keadaban publik hidup bersama akan terasa menyakitkan. Kegelisahan dan konflik sosial akan menjadi bagian dari rutinitas warga.

Dasar dari keadaban publik adalah keinginan untuk hidup bersama. Dalam arti ini kebersamaan bukan hanya sekadar berada bersama, melainkan sungguh hidup bersama dalam relasi yang dinamis-setara. Tanpa saling menihilkan peran masing-masing dan merasa antarwarga merasa saling membutuhkan-ketergantungan.

Jadi, tanpa keinginan untuk hidup bersama, masyarakat tidak akan tercipta. Tanpa keinginan untuk hidup bersama, keadaban publik hanya mimpi semata.

Dengan begitu dapat ditegaskan, makna terpenting dari perlunya keadaban publik adalah terwujudnya tatanan sosial berkehidupan yang dibangun dalam bingkai saling menghargai, menghormati serta menjaga hak orang lain dengan tidak mudah menyakiti (Wasid Mansyur, 2017).

Pilar Penyangga Keadaban

Masdar Hilmy (2012) memandang tersua sekurangnya tiga pilar penyangga keadaban atau kesalehan publik yang keberadaannya sebagai satu kesatuan dan saling menopang satu sama lain.

Pilar pertama adalah tertib dan keadaban publik. Pilar ini mengatur bagaimana (1) setiap individu bertiwikrama satu sama lain di ruang publik secara bertanggung jawab, santun, dan saling menghormati; (2) individu belajar meruangkan perbedaan (toleransi) sebagai bagian dari sunatullah; (3) individu mengajak pada kebaikan melalui cara-cara elegan tanpa kekerasan atau paksaan.

Pilar kedua, tata pemerintahan yang baik dan bersih, mengatur bagaimana struktur negara semestinya berperan sebagai agen instrumental yang mendistribusikan kesejahteraan secara adil dan merata kepada setiap warga negara, tanpa kecuali.

Pilar ketiga, penegakan dan ketaatan hukum. Penegakan hukum harus menganut asas imparsial dan impersonal (baca: tanpa pandang bulu). Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan penegakan hukum secara imparsial dan impersonal dalam rangka menjaga keadaban publik, bahkan terhadap keluarganya sendiri.

Dalam sebuah hadits digambarkan, Nabi Muhammad bersumpah akan menghukum Fatimah, putrinya sendiri, jika dia terbukti mencuri. Siapa pun pelanggar hukum harus diadili.

Peristiwa itu sebagaimana telah dinukilkan:Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman potong tangan. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya (HR. Bukhari No. 4304 dan Muslim No. 1688).

Pelajaran penting dari peristiwa itu adalah keadaban publik dimulai dengan membangun budaya integritas pada perilaku publik. Sebab dengan budaya integritas memungkinkan orang teguh dan berjuang melawan ketidakadilan, walaupun mungkin ia harus dimarginalkan dari kehidupan bersama.

Wajah kehidupan bersama itu bersifat otentik, dan bukan yang semu. Sebagai konsekuensinya perlu menegaskan kembali kehendak bersama untuk menciptakan keadaban publik. Keadaban publik dengan warna perilaku empati sosial, kepatuhan pada hukum, dan memiliki integritas moral yang adil.

 

==============

Sumber: Waspada, Rabu,  4 April 2018, halaman B6



Tag: , Etika, ,

Post Terkait

Komentar