post.png
menabung.jpg

Menabung di Bank Agar Untung

POST DATE | 22 Juli 2017

Pernahkah anda setelah mencetak buku tabungan, membaca kemudian kening anda berkerut bertanya-tanya "Kenapa saldonya segini?
Perasaan kemarin cuma pakai sekian rupiah via ATM." Tak usah bingung, kejadian di atas juga terjadi pada kebanyakan orang terutama yang mempunyai tabungan bernilai kecil, katakanlah di bawah Rp5 juta.

Bagi orang awam sulit memahami mengapa nilai tabungan mereka menyusut, yang mereka tahu jika menabung uang akan bertambah karena berbunga. Namun saat ini jangan harap duit membukit jika punya tabungan tidak lebih dari Rp5 juta (Bank bukan Tempat untuk Penabung Kecil dan Pemula?, http://www. mediakonsumen. com/Artikel4441. html).
Cerita dengan aroma lebih kurang sama adalah testimoni seorang nasabah bank. Sudah lebih dari 2 tahun saya menabung di (bank pemerintah) dengan menyisihkan sedikit gaji dari hanya sebagai pegawai kecil di sebuah lembaga pendidikan swasta.

Harapan menabung antara lain bila sewaktu-waktu perlu uang untuk menunjang kehidupan maka dengan mudah bisa mengambil. Sebab itu saya putuskan menjadi nasabah bank itu. Tetapi harapan itu menjadi sirna, ketika akan mengambil ternyata uang saya di bank malah menyusut sedikit demi sedikit karena dipotong untuk administrasi dan pajak bank setiap bulan.
Dilihat dari nominal potongan ternyata lebih besar dari bunga yang menjadi hak saya. Artinya uang saya sedikit demi sedikit akan habis karena dipotong tiap bulan sehingga tidak sesuai lagi dengan harapan awal. Apakah tidak ada kebijakan dari bank untuk nasabah yang bila jasa simpanan tidak mencukupi untuk biaya administrasi dan pajak, dibebaskan dari aturan tersebut.

Dengan demikian, minat rakyat kecil untuk menabung makin besar sehingga sesuai pepatah "Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Bukan hanya orang kaya saja yang bisa menikmati uang tabungannya melainkan orang kecil juga bisa.
Kasus lain dengan modus yang sama. Sudah lama saya tidak ke bank. Mungkin hampir delapan bulanan. Karena kemarin ada kiriman uang dari ayah maka buku tabungan perlu di-print-kan. Itupun minta bantuan adik. Setelah print out tabungan diterima, mulailah cerita dimulai. Sebagai keluarga dengan gardan satu (maksudnya 1 kerja, 1 tidak) dan kebutuhan hidup yang lumayan, menabung merupakan keinginan yang kadang tercapai, seringnya tidak. Sehingga jumlah tabungan jarang bertambah, berkurang malah terus. Namun tentu saja sebisa mungkin tidak besar pasak daripada tiangnya.
Niat awal saat menabung tentu saja untuk menyisihkan sebagian uang, sehingga saat dibutuhkan masih ada cadangan. Sehingga jumlahnya diharapkan bertambah, syukur-syukur dapat hadiah undian atau apa yang jelas jangan sampai berkurang untuk kebutuhan yang tidak perlu dan mendesak. Namun cerita menjadi lain ketika mendapati jumlah tabungan berkurang karena dipotong biaya administrasi.

Dulu pertama kali nabung potongannya Rp2500, sekarang sudah Rp10 ribu. Padahal jumlah uangku dibawah Rp1 juta. Maka mau tak mau tabungan akan berkurang Rp10 ribu tiap bulan. Jumlah yang sedikit bagi sebagian orang tapi bagiku lumayan juga. Lalu gerakan "Ayo ke Bank" untuk siapa? Terkadang bagiku dengan menabung bukannya untung malah buntung.

Sarana Transfer
Merupakan dilema juga. Aku membutuhkan bank tersebut untuk sarana transfer dengan adik di kota lain. Kadang juga saat butuh uang mendesak nggak perlu antri di bank, tinggal ambil di ATM. Mungkin itu cost yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan kelebihan tersebut. Apakah di bank lain seperti itu ya? Testimoni berakhir dengan ungkapan. Sampai saat ini aku masih menanamkan kepada, putri pertamaku bahwa rajin pangkal pandai dan hemat pangkal kaya. Dan untungnya di sekolah tempat dia menabung tidak ada potongan administrasinya sehingga uangnya tetap utuh yang akan diambil saat kenaikan kelas.
Begitulah beberapa cuplikan pengalaman nasabah kecil ketika berinvestasi di bank. Masalahnya Program Ayo ke Bank yang dikampanyekan Bank Indonesia dan beberapa bank komersial menarik minat publik untuk menyimpan dana di bank. Namun, apakah menabung menguntungkan bagi nasabah-nasabah berdana minim?

Program mengenai ajakan menabung di bank itu menyasar seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Pihak bank kerap menggembar-gemborkan keuntungan yang bisa diterima nasabah jika melabuhkan dananya di bank. Selain aman dan praktis, dana nasabah akan berkembang karena adanya sistem bunga.
Berbagai kenyamanan itu mampu memikat para nasabah. Tidak heran jika di zaman modern ini, masyarakat memercayakan penyimpanan dananya pada bank. Besar atau kecil dana yang disetor tidak menjadi soal karena dalam pandangan masyarakat awam, menabung di bank tentu akan menguntungkan. Namun, benarkah anggapan itu? Bagi para nasabah yang memiliki dana besar, bank memang menjadi salah satu instrumen investasi yang menguntungkan.
Bunga bank yang didapatkan per tahunnya menjadikan nilai tabungan mereka terus bertambah. Namun, bagi nasabah dengan dana kurang dari Rp5 juta rupiah, akan sulit meraih keuntungan. Penyebabnya adalah rendahnya suku bunga yang tidak sepadan dengan biaya administrasi yang harus dibayar nasabah. Terkadang para nasabah bahkan tidak mengetahui informasi mengenai biaya administrasi serta biaya-biaya lain yang dibebankan bank. Padahal biaya-biaya itu lambat laut akan menggerus saldo tabungan mereka.
Banyak pengalaman lain misalnya, Redyanto, salah seorang nasabah sebuah bank BUMN, mengaku saldo tabungannya tidak pernah bertambah. Bahkan ia terkejut ketika mengetahui saldonya terus berkurang. Saya juga tidak pernah diberitahukan pihak bank mengenai perincian suku bunga serta biaya-biaya yang harus dibayarkan nasabah, cetus Redyanto dalam blognya. Jika dihitung-hitung, pengurangan saldo tabungan itu berasal dari beberapa komponen. Untuk tabungan biasa, bunga maksimal yang diberikan bank sekitar 4 persen per tahunnya. Ambil contoh di Bank BUMN.
Untuk tabungan bersaldo Rp1 juta hingga Rp5 juta rupiah, suku bunga yang diberikan sekitar 1,75 persen per tahun. Apabila uang yang ditabung di bank tersebut sebesar Rp4 juta dan tidak bertambah selama setahun, bunga yang diberikan setelah dipotong pajak adalah Rp56 ribu. Biaya administrasi untuk buku tabungan yang harus dibayar per bulannya mencapai 9 ribu rupiah dan biaya ATM sebesar Rp5 ratus sampai Rp6 ribu rupiah per bulan, bergantung pada jenis kartu yang dipilih.

Jika diasumsikan, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp9.500 per bulan, biaya yang harus ditanggung nasabah dalam rentang waktu setahun adalah 114 ribu rupiah. Apabila dihitung, total biaya yang harus dibayarkan nasabah sebesar Rp58 ribu dalam setahun.

Biaya Administrasi
Lantas, bagaimana halnya jika saldo nasabah kurang dari Rp1 juta? Biasanya bank tidak memberikan bunga. Namun, setiap bulannya nasabah tetap terkena biaya administrasi yang belum termasuk biaya ATM. Artinya apabila seorang nasabah memiliki saldo sebesar 900 ribu rupiah dan saldonya tidak pernah ditambah, dalam waktu kurang dari delapan tahun, saldo si nasabah akan habis.
Sistem pemotongan biaya yang dikenakan bank-bank Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bank-bank di negara-negara maju. Di Jepang contohnya. Bank of Japan (BoJ) sampai saat ini mempertahankan suku bunganya di angka 0,10 persen per tahun. Dengan bunga sekecil itu, bisa dipastikan membuka tabungan di Jepang akan selalu tekor.

Memang, tabungan di Jepang tidak lagi berfungsi sebagai investasi, melainkan untuk membeli jasa. Menabung di bank hanya difungsikan sebagai penyimpanan cadangan dana yang diperlukan untuk melakukan berbagai transaksi.
Jadi, bisa dikatakan bank menjual pelayanan jasa. Selain kerugian akibat pemotongan biaya-biaya administrasi dan pelayanan, nasabah kerap dirugikan akibat minimnya informasi yang diberikan bank mengenai pemotongan-pemotongan tersebut. Memang versi pihak bank mereka menyatakan informasi itu sebetulnya sudah diberitahukan pihak bank pada awal pembukaan tabungan.
Selanjutnya diasumsikan nasabah akan menghitung sendiri biaya-biaya tersebut. Namun demikian dalam pandangan konsumen, pengenaan biaya-biaya itu jelas merugikan konsumen. Apalagi dari awal nasabah tidak memperoleh informasi yang jelas dari pihak pelaku usaha. Kalau diinformasikan secara jelas sejak awal, mungkin para nasabah yang berdana minim tidak mau menaruh uang di bank. Bagi penabung kecil, lebih baik menabung di bawah bantal saja.
Perlu regulasi untuk menertibkan masalah itu. Regulasi tersebut dibutuhkan untuk melindungi para nasabah. Bicara regulasi, sebenarnya dalam KUHPer 1320 KUH Perdata, sudah dijelaskan mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian karena antara nasabah dan pihak bank ada ikatan perjanjian. Adapun payung hukum untuk konsumen berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Yakni hak untuk mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur.

Sayangnya, di lapangan, peraturan itu belum dipraktikkan dengan baik. Masih informasi yang memiliki langsung dengan konsumen disembunyikan. Ujung-ujungnya, konsumen pula yang dirugikan. Jika demikian keadaannya, wajar jika timbul pertanyaan: program ayo ke bank itu untuk dan milik siapa sih?
Gambaran pasti juga dirangkai cerita berikut. Sebut saja namanya Riza. Dia begitu terperanjat tatkala simpanannya sebesar Rp500.000 di salah satu bank nasional terus ‘terkuras’. Kini uang itu semakin kecil (menciut) jumlahnya. Apa pasalnya? Ternyata rata-rata bank menetapkan biaya tambahan kalau saldo rekening dibawah 500 ribu rupiah. Memang tidak semua bank, biasanya bank-bank swasta yang besar. Potongannya juga bervariasi, biasanya dalam kisaran Rp5.000-10.000.
Hitungan sederhananya, kalau saldo rekening tidak memenuhi saldo minimum yang ditetapkan, maka tabungan pemilik rekening akan terpotong sebanyak 3x (pajak, biaya administrasi dan denda saldo minimum). Bahkan besarnya bunga tabungan pun tidak mampu menutupi kehilangan dana ini. Jadi, meskipun niat awalnya bagus, untuk menabung. Tapi, pemilik rekening tetap harus merelakan tabungannya ‘dijarah’ setiap bulan.
Masalahnya kegiatan ‘menjarah’ itu dilegalkan, sehingga terkesan salah kaprah. Sesuatu yang salah, tetapi dibiarkan seakan-akan itu bukan dosa. Berharap menabung untuk dapat untung, eh...tak tahunya malah buntung. Tindakan itu tergolong dosa disebabkan saldo nasabah terus digerogoti, meski mungkin nilainya sudah minimal. Dosa sistemik karena dilakukan secara legal dan belum ada larangan untuk pungutan itu.
Memang, sepertinya beberapa bank sudah memperhatikan ceruk kecil ini. Sudah ada beberapa jenis tabungan yang sama sekali tidak dikenakan biaya administrasi ataupun pajak. Hanya saja masih berlaku untuk pemilik rekening yang masih berusia kanak-kanak. Dengan syarat, orangtuanya membuka rekening utama di bank tersebut juga. Hmm....bebas tapi terikat. Ibarat kata pepatah: lepas kepala, pegang ekornya..!?
Hanya saja, dia tidak lupa menyatakan kalau tabungan jenis ini hanya bisa diberikan kalau orang tuanya juga membuka rekening di bank itu terlebih dahulu. Dan rekening orang tua tetap terkena potongan seperti biasa. Pajak, biaya administrasi dan denda kalau saldo di bawah saldo minimum yang ditetapkan. Sepertinya, tabungan anak ini dirancang untuk memastikan agar orang tua semakin banyak menyimpan dananya di bank itu, meskipun rekeningnya dibuat atas nama si anak.
Bisa dikatakan hampir semua bank memberikan potongan sekian ribu rupiah secara rutin setiap bulannya pada semua rekening tabungan. Sekilas, jumlah yang dipotong memang tidak seberapa. Hanya dalam kisaran Rp3.000-Rp7.000 perbulannya.

Tapi, kalau diakumulasikan selama setahun saja, berarti uang dalam tabungan berkurang sekitar Rp36.000-Rp84.000. Untuk yang sudah menabung lebih dari 10 tahun, kalikan saja sendiri. Ini belum termasuk potongan pajak dan potongan lainnya. Potongan lainnya yang dimaksud adalah potongan kalau saldo tabungan kita lebih sedikit dari saldo minimum yang ditetapkan.
Karena itu, jika merasa rugi karena tiap bulan harus membayar biaya administrasi untuk bank yang rata-rata berkisar Rp7.500-25.000, maka penabung dapat mempertimbangkan untuk pindah ke bank dengan non-potongan.

Ada beberapa bank yang membuat fasilitas tabungan ini tidak mengenakan biaya administrasi sama sekali. Lembaga keuangan bank tanpa potongan, pajak atau biaya administrasi cukup membantu mengamankan tabungan. Andaikan saja Rp10.000/bulan, dalam 1 tahun sudah menghemat Rp120.000. Cara yang hemat bukan?
Selain itu mendukung program penghapusan biaya administrasi pada semua rekening tabungan. Kalau perlu harus dijadikan sebagai gerakan nasional. Kalau sampai niat mulia ini terwujud, Bagi bank yang memerdekakan penabung dari biaya ‘tambahan’ itu, penabung bukan hanya mengacungkan dua jempol saja. Tapi empat jempol sekaligus. Menabung di bawah bantal bakal diurungkan, lalu ramai-ramai teriak ayo menabung ke bank. Hanya saja, mungkinkah hal ini bisa terwujud, entahlah?***

 

========

Sumber: Analisa, 15 Desember 2009



Tag: , ,

Post Terkait

Komentar