POST DATE | 19 September 2024
Suksesi kepemimpinan Gubernur, Bupati/Wali Kota tahun 2024 ini bakal diikuti sejumlah kotak kosong yang ikut “bertarung” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Data mutakhir calon tunggal sementara di Pilkada 2024 jadi 35 daerah, sebelumnya adalah 41 daerah (Tempo.co, 17 September 2024).
Apa itu kotak kosong Pilkada? Kotak kosong dalam konteks Pilkada adalah fenomena unik sebagai solusi demokratis ketika sebuah daerah hanya memiliki satu pasangan calon. Istilah ini merujuk pada opsi pilihan yang diberikan kepada pemilih selain pasangan calon tunggal yang ada, sebab pemilih dapat memilih "kotak kosong" sebagai bentuk ketidaksetujuan atau ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia.
Bagi Silvia Estefina Subitmele (2024) keberadaan kotak kosong dalam Pilkada membawa implikasi yang signifikan bagi dinamika politik lokal. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong pasangan calon tunggal untuk bekerja lebih keras dalam meyakinkan pemilih dan membuktikan kelayakannya. Di sisi lain, kemenangan kotak kosong atas pasangan calon dapat mengakibatkan penundaan Pilkada, dan membuka peluang munculnya calon baru pada kontestasi berikutnya.
Fenomena kotak kosong bukan sekadar peristiwa kebetulan dalam proses demokrasi di Indonesia. Ini sering kali mencerminkan situasi politik di daerah tertentu, karena adanya dominasi kekuasaan oleh satu partai atau kelompok politik sangat kuat, sehingga calon-calon lain enggan atau tidak mampu bersaing.
Jika dipahami secara simbolik, kotak kosong menjadi pantulan resistensi dan alat untuk mengekspresikan ketidakpuasan publik terhadap dominasi politik tersebut. Dalam bingkai ini, kotak kosong tidak hanya berfungsi sebagai opsi teknis dalam surat suara, tetapi juga sebagai elemen penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi.
Secara normatif legalitas calon tunggal didasarkan pada Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 Tentang Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah. Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Catatan prosesi suksesi pilkada, dunia politik Indonesia pernah dibuat heboh soal kemenangan kotak kosong pada pemilihan Wali Kota Makassar pada pertengahan tahun 2018 silam. Ketika itu, suara kotak kosong menekuk suara koalisi parpol (Pertama di Indonesia! Kotak Kosong Menang Pilkada https://news.detik.com/berita/d-4360870/pertama-di-indonesia-kotak-kosong-menang-pilkada).
Betapa tidak, tepat 27 Juni 2018 semua orang tersentak, ketika pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Pasangan Appi-Cicu total mendapatkan 264.071 suara dan kotak kosong 300.969 suara. Kemenangan kotak kosong ini membuat riuh politik di Tanah Air. Legislatif di DPR mengistilahkannya sebagai bentuk 'hukuman' publik kepada elite. Apalagi jika diklaim demokrasi adalah suara rakyat, sehingga sudah menjadi keniscayaan agar elite peka dan meletakkan telinganya disetiap detak jantung para konstituennya.
Memilih Kotak Kosong
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat pesta demokrasi Pilkada 2024 ini adalah jumlah kotak kosong dengan rekor terbanyak sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Maraknya fenomena “kotak kosong” dalam pilkada dinilai mencerminkan “kemunduran demokrasi” karena masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang “tidak ideal” (www.bbc.com, 10 September 2024). Ada beberapa alasan, mengapa sistem pemilu dengan mengakomodasi kotak kosong disebut sebagai tidak ideal?
Despan Heryansyah mengatakan demokrasi sejatinya dikonstruksi sebagai sebuah sistem dengan publik memiliki peran besar dalam menentukan kebijakan publik melalui partisipasi bermakna (meaningfull participation). Pantulannya, secara sederhana dapat dilihat pada dua aspek yaitu bagaimana partisipasi publik dijadikan sebagai salah satu komponen utama dalam pengambilan kebijakan publik?
Ada adagium nothing about us without us, untuk menggambarkan pentingnya partisipasi dan keterlibatan dalam kebijakan publik. Slogan ini kemudian menjadi norma dalam kehidupan demokrasi dan meluas ke berbagai pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terhadap berbagai aspirasi kelompok kepentingan yang diwakilinya atau terpengaruh, khususnya kelompok yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya (Farhan Helmy, 2022).
Karena itu ada pertanyaan selanjutnya, bagaimana publik dilibatkan dalam pemilihan umum untuk menentukan siapa yang publik kehendaki untuk memimpin mereka. Ini artinya publik hanya boleh dipimpin oleh orang yang mereka kehendaki untuk memimpinnya (Menimbang Kembali Kotak Kosong di Pilkada, https://news.detik.com/kolom/d-7544280/menimbang-kembali-kotak-kosong-di-pilkada).
Despan Heryansyah (2024) memperkuatkan dalil akomodasi kotak kosong tidak ideal karena: Pertama, secara substansial, bagaimana mungkin calon kepala dan wakil kepala daerah disandingkan dengan kotak kosong? Pemilu adalah prosesi sakral bagi rakyat untuk menentukan siapa yang mereka kehendaki untuk memimpin dalam periode 5 tahun ke depan.
Ada adagium yang mengibaratkan pemilu sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi. Secara ideal, tidak mungkin rakyat memilih kotak kosong! Bayangkan jika kotak kosonglah yang layak untuk memimpin daerah pada 5 tahun mendatang? Belum lagi, juga ada kompetisi yang tidak seimbang, antara calon dan kotak kosong. Pasangan calon dapat berinteraksi dengan langsung kepada para pemilih, dengan menawarkan program kerja andalannya. Di sisi lain, kotak kosong adalah benda mati yang tidak dapat melakukan interaksi apapun.
Kedua, calon tunggal sejatinya sejak pertama kali ditolak oleh koalisi masyarakat sipil dan perguruan tinggi. Bagaimana mungkin, pesta demokrasi yang dimaknai sebagai kontestasi politik diisi oleh calon tunggal semata? Suksesi itu, artinya tidak ada persaingan, tidak ada kontestasi, dan tidak ada pemilihan? Bagaimana mungkin, kotak kosong yang dijadikan sebagai pendamping calon tunggal sama sekali tidak untuk menggantikan makna kontestasi yang sesungguhnya.
Apalagi, berkait kelindan dengan keberadaan calon tunggal ini, pemodal besar, yang biasanya berkoalisi dengan petahana, bersiasat untuk membeli semua suara partai politik di suatu wilayah sehingga tidak ada peluang bagi calon lain untuk muncul. Melawan kotak kosong tentu saja lebih mudah dan tidak berisiko apapun. Oleh karena itu membeli suara partai politik adalah pilihan yang paling mudah. Padahal tak dapat dibantah, jika loyalitas partai politik di Indonesia dengan mudah dapat dikendalikan karena berbasis pada insentif dan penyanderaan?
Mengutip I Nyoman Subanda (2024) kehadiran kotak kosong dari perspektif kekuasaan, mencerminkan kegagalan partai politik dalam membangun kepercayaan dan elektabilitas di mata publik. Kekuasaan bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang kemampuan membangun kepercayaan dan simpati publik. Ketika partai politik tidak percaya pada kemampuan elektabilitasnya, mereka enggan mengusung calon, itu menunjukkan ketidakpercayaan diri dan kegagalan dalam membangun hubungan yang kuat dengan konstituen mereka.
Pilkada adalah ajang bagi partai politik untuk mengadu visi dan misi calon kepala daerah. Jika yang bertarung adalah kotak kosong menunjukkan kegagalan partai politik mengusung calon berarti mereka gagal merumuskan kebijakan yang relevan untuk daerah tersebut. Idealnya, Pilkada adalah tempat untuk beradu visi dan misi serta program yang dapat diambil oleh pejabat publik.
Berikutnya jika dilihat dari perspektif publik, kotak kosong berarti hilangnya alternatif pilihan. Pilkada seharusnya memberikan pilihan kepada pemilih untuk memilih calon pejabat publik terbaik. Namun, ketika hanya ada satu calon melawan kotak kosong, publik kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani.
Demokrasi yang sehat melibatkan publik dalam semua tahap proses Pilkada, dari seleksi hingga pemilihan. Fenomena kotak kosong dalam Pilkada tidak hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat tetapi juga kegagalan institusi politik dalam menjalankan fungsi mereka. Demokrasi yang sehat memerlukan partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan baik, membangun kepercayaan pulik, dan merumuskan kebijakan yang relevan-visioner.
Tetapi dari semua proses itu Herdiansyah Hamzah (2024), pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Samarinda, membuat pertanyaan retoris, “Apakah pilkada layak disebut pesta demokrasi jika pesertanya hanya satu pasangan calon saja? Beliau menjawab, Pilkada dengan calon tunggal lebih pantas disebut sebagai pesta pora oligarki!
Bagi Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, puluhan calon tunggal yang akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 yang bakal melawan kotak kosong dianggap sebagai pelecehan, baik terhadap kemanusiaan dan demokrasi. Beliau menggugat kotak kosong, masa orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Menangnya tidak enak, kalah pun tidak enak (Calon Tunggal vs Kotak Kosong pada Pilkada 2024, Pakar: Menang Tidak Enak, Kalah Tidak Enak, https://nasional.kompas.com/read/2024/09/13/07450011/calon-tunggal-vs-kotak-kosong-pada-pilkada-2024-pakar-menang-tidak-enak).
Pesan Siti Aminah, pengamat politik dari Unair, kotak kosong di Pilkada 2024 merupakan erosi atau terkikisnya praktik demokrasi lokal. Aminah menyarankan agar masyarakat memilih kotak kosong jika menginginkan kemenangan demokrasi lokal (Tempo.com, 6 September 2024). Hak memilih kotak kosong adalah hak yang dijamin hukum. Hak memilih kotak kosong adalah hak yang legal. Tak kurang dan tidak lebih. Soal menjatuhkan pilihan adalah soal hati nurani, tidak ada yang berhak merampas kebebasan individu untuk memilih memilih kotak kosong itu.
=============
Sumber: Waspada, Jumat, 27 September 2024, hlm. B3