post.png
main-hakim-sendiri.jpg

Main Hakim Sendiri dan Hakim Main Sendiri

POST DATE | 23 Juni 2017

Tingginya eskalasi kasus main hakim sendiri (eigen rechting) dalam masyarakat, misalnya seorang mencuri ayam, anjing maupun pencopet yang dikeroyok masyarakat hingga luka-luka bahkan meninggal dunia. Sesungguhnya ini merupakan cermin demoralisasi hukum yang terjadi di masyarakat. Akibat parahnya penegakan hukum di negeri tercinta ini.

Kemudian muncullah analogi sinisme, hukum seringkali menjadi tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah!

Seolah hukum hanya adil untuk rakyat jelata yang tak mampu membayar para penegak hukum. Sebaliknya bagi rakyat yang berkantong tebal, maka dengan mudahnya membeli keadilan itu. Mencuri ayam, sendal jepit, kakao, dan pisang bisa dijerat bertahun-tahun hukuman penjara. Meskipun mereka mencuri sekadar mempertahankan hidup.

Di lain pihak, mereka yang sudah kaya. Tapi masih serakah mencuri uang negara berkali-kali lipat, hukumannya tak lebih berat. Masih bisa diakali lagi dengan aparat. Bahkan banyak para pencuri uang negara yang sulit untuk dijerat hukum. Masih bisa berlenggang. Bebas lepas. Karena mereka punya kuasa dan mampu membeli hukum?

Demoralisasi terjadi keadaan atau situasi martabat hukum makin rendah di mata masyarakat. Fungsi hukum tumpul karena perilaku diskriminatif dan koruptif petugas hukum tatkala menegakkan hukum. Masyarakat krisis kepercayaan terhadap sistem dan aparat penegak hukum, hingga muncul fenomena “arakan bugil”.

Arakan bugil adalah praktik pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaannya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.

Seolah orang menjadi bebas melakukan sesuatu. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi. Atau, secara ekstrim main hakim sendiri terjadi disebabkan penegakan hukum yang ‘loyo’.

Karena itu maraknya amuk massa dengan kekerasan selama ini patut dan harus menjadi perhatian pemerintah, terutama pihak kepolisian. Bila dicermati, salah satu yang menyebabkan aksi kekerasan dan main hakim sendiri oleh masyarakat karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat serta bentuk frustrasi masyarakat pada proses penegakan hukum selama ini.

Akibatnya anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk atau muncul abnormalitas atas hukum. Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Eksesnya masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah.

Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi (minus hukum?).

Gerakan reformasi telah mewariskan kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif,- kebebasan, keberanian, keterbukaan informasi, demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kuasa baru dalam masyarakat’.

Rasa memiliki kekuasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong munculnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Di sini kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan hukum. Di sini berlaku suatu asumsi, penguasalah pemilik hukum (Cherubim M. Janggi Rabu, 30 Maret 2011).

Guna mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Para tokoh itu harus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun tidak diperbolehkan. Tindakan sendiri dalam menangani sesuatu tetap salah.

Main Hakim Sendiri versus Hakim Main Sendiri

Tatkala masyarakat main hakim sendiri, ternyata ada pula penegak hukum seperti hakim yang main sendiri. Masyarakat menjadi muak dengan banyaknya hakim main sendiri di negeri ini. Hakim dalam hal ini mewakili para penegak hukum. Maksud mereka bisa “bermain” sendiri dalam kasus yang ditangani. Itulah sebabnya kemudian muncul istilah “daripada hakim main sendiri, lebih main hakim sendiri”. Padahal main hakim sendiri ataupun hakim main sendiri itu bertentangan dengan hukum.

Tetapi apa bedanya dengan hakim yang main sendiri dalam menerima uang sogokan. Bukankah melawan hukum juga? Bisa jadi masyarakat gregetan dengan hukuman yang begitu ringan yang dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan yang seharusnya dihukum berat.

Cuma dalam kenyataan, masyarakat pun hanya berani main hakim sendiri terhadap rakyat kecil yang mencuri ayam atau sandal. Terhadap penjahat kelas kakap semisal pejabat yang jadi koruptor, belum pernah terdengar jadi korban main hakim sendiri masyarakat. Dalam masalah hakim ini, sebenarnya baik main hakim sendiri maupun hakim main sendiri adalah sama salahnya.

Tetapi begitulah, kalau hukum tidak lagi memberikan kepastian bagi seseorang untuk memperoleh haknya, atau jika hukum tidak lagi dapat dipercaya sebagai cara terhormat untuk memperoleh keadilan, maka dapat dipastikan masyarakat akan cenderung menggunakan cara “kekerasan”, yaitu dengan cara main hakim sendiri.

Belum pula termasuk bagi oknum para penegak hukum yang telah menghakimi tersangka terlebih dahulu sebelum menyerahkannya kepada hakim beneran. Main hakin sendiri mempunyai konotasi bahwa siapa yang kuat dia yang menang, jadi lebih mengarah pada substansi pengertian hukum rimba.

Sebaliknya hakim main sendiri berarti hakim atau aparat penegak hukum mencari jalan sendiri di luar hukum guna menyelesaikan kasus. Semisal melalui sogokan, suap, jual beli pasal, melakukan kekerasan kepada para tersangka, terdakwa maupun terpidana.

Kalau sudah begini (Cherubim M. Janggi, 30/3/2011) penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964).

Yaitu suatu keadaan tatkala nilai-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri atau hakim main sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie.

Atau, dalam kasus main hakim sendiri atau hakim main sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyatakat. Akibatnya pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipandang oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri.

Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum. Begitu pula, kalau publik sibuk berwacana mengenai main hakim sendiri, jangan pula lupa kalau ternyata masih banyak hakim yang main sendiri?

 

=============================

Sumber: http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=17812:main-hakim-sendiri-a-hakim-main-sendiri&catid=59:opini&Itemid=215



Tag: Hakim, Farid wajdi, LAPK

Post Terkait

Komentar