post.png
bank_syariah_kaji_ualng.jpeg

Kaji Ulang Syariah-nya Bank Syariah

POST DATE | 26 Juni 2023

Praktik bisnis perbankan syariah menjadi sorotan banyak pihak setelah Jusuf Hamka, seorang pengusaha dan tokoh muslim nasional mengkritisi perbankan syariah dari sisi fleksibilitas pelunasan pembiayaan. Bahkan, bos perusahaan jalan tol PT Citra Marga Lintas Jabar (CMLJ), anak usaha PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP), tersebut melabeli Bank Syariah kejam dalam praktik bisnisnya. Pernyataan tersebut seperti memantik api di dalam sekam. Membuka kotak pandora praktik bisnis Bank Syariah. Stigma negatif langsung tersebar di tengah ruang publik dan mengamini pernyataan Yusuf Hamka tersebut.

Di beberapa sosial media, banyak orang menyesalkan perilaku Bank Syariah tersebut. Bank Syariah dicap seolah-olah menggunakan label syariah-komodifikasi, untuk mendapatkan keuntungan bisnisnya, sehingga kemudian, kesan yang muncul di publik adalah bahwa perilaku Bank Syariah tidak ada bedanya, dan bahkan lebih buruk dibandingkan bank konvensional (Kussudyarsana, 2021).

Jauh sebelumnya Zaim Saidi (2010) menulis buku bertajuk Tidak Syar'inya Bank Syariah di Indonesia. Buku yang menjelaskan seluk beluk bank "syariah", sebenarnya tidak ada bedanya antara bank ribawi dan bank "syariah" sekarang ini.

Hanya beda kemasannya saja? Bahkan meminjam Budhi Wuryanto (2011) ada ungkapan, “Apa bedanya dengan bank konvensional? Tidak ada!” Bahkan ada yang sinis menilai, “Sama saja dengan bank lainnya.” Yang lain menilai, “Belum juga benar-benar syar’i. Katanya tanpa bunga, kok tambah banyak ribanya, ya?”

Terlepas dari isu buku dan prokontra yang ada bisnis perbankan syariah di Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan perbankan konvensional. Karena itu, adanya citra buruk bagi industri ini dapat makin menghambat laju percepatan perkembangannya. Lah apa pasal?

Sebenarnya jika merujuk Thohir Luth (2005) ide dasar kehadiran Bank Syariah adalah upaya untuk menangkal sistem ribawi yang ada pada bank-bank konvensional. Cuma masalahnya di Indonesia nuansanya agak berbeda, yaitu memanfaatkan keinginan baik dari misi Bank Syariah tersebut secara tidak benar? 

Maksudnya adalah di saat itu banyak bank konvensional sedang mengalami krisis kepercayaan (distrust) dari nasabah akibat mismanajemen pada bank tersebut, lalu bersamaan dengan itu publik sedang mencari alternatif manajemen keuangan yang lebih terpercaya untuk mengamankan uang mereka.

Memang sejak awal kelahirannya, perbankan syariah mendapat respons yang positif dari berbagai kalangan. Ada yang beranggapan sistem perbankan syariah merupakan sistem alternatif, bahkan menjadi solusi terhadap sistem perbankan konvensional yang selama ini mendominasi dan berorientasi keuntungan belaka (profit oriented).

Tentunya respons semacam ini dapat dimaklumi, karena kelahiran perbankan syariah sendiri dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam: neo-revivalis dan modernis, yang meyakini islam adalah agama yang syamil (lengkap) dan kamil (sempurna), Sebab seluruh aspek dan lini kehidupan manusia sudah diatur dalam Islam (Saeed Abdullah, 2006). Islam (baca: syariah) didudukkan bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal.

Masalahnya kata Thohir (2005) perbankan di Indonesia hanya membuat label syariah pada bank konvensional. Manajemen Bank Syariah belum diterapkan sebagaimana mestinya, sementara publik (nasabah) seakan-akan tersihir dengan polesan label syariah pada bank tersebut. Pembuat kebijakan ekonomi moneter hanya menangkap peluang para nasabah yang menghendaki perwujudan ekonomi Islam termasuk Bank Syariah.

Tetapi, proses pengelolaan bank yang berlabel syariah tersebut “belum” mencerminkan Bank Syariah yang sesungguhnya. Karena itu, kata riba yang diharamkan Allah itu hanya dipoles dengan kata “mudharabah” (kerja sama bagi hasil) dan lain-lain. Praktik-praktik seperti ini terus berlangsung bahkan cenderung lebih banyak merekrut nasabahnya.

Thohir Luth mengungkapkan selaku nasabah pada Bank Syariah ia merasakan ada sesuatu yang hilang (something lost) yaitu keterbukaan pengelolaannya. Sebagai contoh, ia pernah melakukan akad deposito mudharabah pada salah satu Bank Syariah dengan menyimpan sejumlah dana dalam transaksi deposito mudharabah tersebut. Oleh pihak Bank Syariah telah menetapkan prosentase untuk pihak bank dan nasabah.

Dalam perjalanannya, ia hanya menerima bagi hasil sesuai dengan prosentase tersebut, nasabah tidah pernah diberitaku secara jujur olek pihak Bank Syariah tentang berapa dana nasabah yang dipakai untuk modal kerja, siapa yang memperoleh modal dan jenis jasa apa yang dikerjakan oleh peminjam modal. Tiba-tiba saja terlihat dalam rekening nasabah ada pemasukan uang dari Bank Syariah yang konon itu adalah hasil dari bagi hasil dari deposito mudharabah?

Alm. John Tafbu Ritonga (2008) pernah mengatakan Bank Syariah di Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya menjalankan prinsip Islam. Perbankan tersebut justru sebaliknya menganut prinsip ekonomi kapitalis yang berlomba-lomba mendapatkan keuntungan yang besar. Perbankan Syariah belum memberikan keuntungan atau menyejahterakan nasabahnya seperti yang disyariatkan dalam prinsip ekonomi Islam tetapi sebaliknya mengejar keuntungan sendiri bahkan melakukan praktik riba? 

John memberi contoh terjadinya praktik riba di Bank Syariah itu, yakni lebih banyaknya bagi hasil yang diperoleh bank ketimbang nasabah. Tidak mengherankan, kalau akhirnya, perbankan termasuk bank asing ramai-ramai mendirikan atau membuka Bank Syariah karena bank itu sangat memungkinkan mendapatkan keuntungan yang lebih besar?

Isu serupa juga dikemukakan Abdul Ghafur Ismail (2008). Beliau sependapat Bank Syariah pada praktiknya belum menjalankan sepenuhnya prinsip ekonomi Islam itu. Praktik syariah yang belum dijalankan secara benar diperbankan itu tidak hanya terjadi di perbankan syariah di Indonesia, tapi juga di negara lainnya termasuk Malaysia. Kondisi yang tentunya perlu segera dibenahi dengan melakukan berbagai koreksi atas praktik syariah di perbankan itu.     

Menangkap aspirasi umat Hamka Husein Hasibuan (2016) mengatakan seiring dengan berjalannya waktu, melihat praktik yang ada selama ini, sebagian kalangan mulai meragukan, mempertanyakan, dan mengkritisi perbankan syariah, karena ada yang dianggap menyimpang bahkan keluar dari koridor Syariah?

Mulai dari yang mempertanyakan mengenai pelaksanaan produk-produk yang ada, transaksi-transaksi yang sering disiasati, ketidakpekaan Bank Syariah terhadap permasalahan sosial, sampai kepada anggapan sebenarnya perbankan syariah hanya sekadar “ganti baju”, yang ada di balik itu sebenarnya adalah kaum kapitalis?

Kritikan-kritikan semacam ini tentunya sangat diperlukan dalam hal untuk kemajuan perbankan syariah yang lebih baik, selama kritikan itu bersifat konstruktif dan ilmiah, bukan karena faktor benci (phobia), apalagi hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak mendasar.

Digugat

Mengapa “Syariah”-nya Bank Syariah digugat? Benarkah Bank Syariah sudah beroperasi sesuai dengan syariah? Menurut Mahmudah Mulia Muhammad (2019) harus diakui praktisi perbankan syariah yang ada saat ini masih didominasi oleh kelompok pindahan-migrasi konvensional, sehingga secara logis jiwa yang ada dalam sanubari praktisi perbankan syariah kini mayoritas masih dalam tahap bagaimana ia dapat menerapkan, belum mencapai taraf bagaimana ia dapat mengembangkan, sehingga program sosialisasi yang sering digembar-gemborkan terlihat semu karena ketidakseimbangan antar-data yang disosialisasikan dengan fakta yang berkembang.

Belum lagi para praktisi Bank Syariah ini tidak mampu menerjemahkan tujuan maqashid al-syariah sebagai usaha untuk mencapai ke maslahatan dan mencegah kemudharatan dalam kegiatan ekonomi. Padahal maqashid al-syariah Islam adalah inti ajaran yang mengatur umat manusia secara menyeluruh dan universal serta menerapkan pada praktik perbankan syariah.

Maqashid adalah inti dari semua analisis ekonomi, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, distribusi kekayaan, dan pembangunan ekonomi. Karena itu, target dalam sistem ekonomi Islam adalah penghilangan segala bentuk masalah ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan pembangunan, dan lain-lain dan di sisi yang lain menyediakan segala insentif yang memadai dan dapat diakses oleh semua anggota masyarakat sehingga dapat menikmati segala sumber daya yang tersedia dan mencapai kehidupan yang sejahtera.

Ada beberapa perbedaan -menurut para pakar dan praktisi- antara Bank Syariah dan bank konvensional. Perbedaan itu adalah Bank Syariah non-ribawai (tidak menggunakan riba); bersifat kemitraan; akad produk-produk yang digunakan; dan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). Atau dalam bahasanya Syafi’i Antonio (2001) perbedaannya terletak pada aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.

Apakah Bank Syariah konsisten dengan klaimnya? Bagaimana melihat ke-syari’-an Bank Syariah sudah sesuai atau tidak dengan konsep awal dan nilai-nilai Islami. Sebab dalam ekonomi Islam, tidak hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata, tetapi harus dapat masuk kepada keadilan, kebahagian (al-falah), kemaslahatan, dan berdampak kepada sosial.

Soal klaim Bank Syariah itu non-ribawi, sementara bank konvensional adalah bank ribawi (menggunakan riba), para pakar dan praktisi bank syariah menyimpulkan bunga yang dipraktikkan perbankan konvensional itu adalah sama dengan riba yang diharamkan oleh Alquran.

Dengan dalil ini para pebisnis berusaha mendirikan lembaga keuangan yang bebas riba, yang wujudnya adalah institusi Bank Syariah. Proses berikutnya melahirkan produk-produk pengganti bunga: mudharabah dan musyarakah. Dua produk yang diasumsikan berdasar pada sistem bagi hasil (profit and loss sharing).

Bank Syariah beroperasi dengan pola bagi hasil dengan nasabah, bukan dengan sistem bunga. Kenyataannya, bank kemudian menyadari dua produk yang berbasis profit and loss sharing sulit diterapkan, karena risiko yang mungkin diterima oleh bank sangat tinggi, yang mengakibatkan Bank Syariah enggan menjalankan dua produk tersebut.

Oleh sebab itu, Bank Syariah kemudian mencari “jalan lain”, dan menemukan konsep dalam fikih disebut dengan murabahah. Suatu model jual beli yang pihak pembeli –karena satu dan lain hal– tidak dapat membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk dapat membeli dan mendapatkanya. Dalam proses ini, si perantara, dalam hal ini bank, biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya (murk-ap).

Mengapa Bank Syariah mengadopsi murabahah? Karena dengan murabahah nyaris risiko tidak ada. Pertama, secara praktikal ia pun menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-Bank Syariah, menduduki sampai 60-70 persen usaha bank, sementara dua produk tadi (musyarakah dan mudharabah) pemakainya sangat minimal, hanya 30 bahkan sampai 0 persen?

Di titik ini kelihatan ketidakkonsistenan dan pergeseran arah dari Bank Syariah sebagai bank yang bersistem bagi hasil (sebagai pengganti dari sistem bunga) menjadi bank yang berorientasi mencari keuntungan (profit oriented). Wajar saja, kalau kemudian ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan bank syariah lama-lama terjebak kepada sistem kapitalisme?

Kedua, mengenai produk yang digunakan, Bank Syariah sering kali “pilih kasih”. Penggunaan produk-produk al-qard al-hasan (fasilitas kebajikan), musyarakah dan mudharabah yang berorientasi untuk pengembangan ekonomi masyarakat miskin dan pengusaha pemula sangat terbatas.

Padahal dalam konsep awal bergulirnya, Bank Syariah tidak hanya berorientasi untuk mencari keuntungan (profit oriented), melainkan ikut serta dalam membangun pertumbuhan, menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan. Justru pemakaian produk murabahah menurut berbagai penelitian sangat maksimal, mencapai 60-70 persen.

Bank Syariah memilih akad murabahah karena berbagai alasan rasional: (a) murabahah adalah natural certainty contracs, sehingga keuntungannya pasti, berbeda dengan musyarakah dan mudharabah yang masuk dalam ketegori natural uncertainty contracs; (b) murabahah adalah investasi jangka pendek dan risikonya hampir tidak ada; dan (c) margin keuntungn dapat langsung ditetapkan.

Ketiga, Bank Syariah dalam melakukan transaksi mudharabah, belum sepenuhnya berani (baca: enggan) berbagi risiko dan kerugian (loss/risk sharing). Dalam konsepnya, Bank Syariah sesungguhnya bukan hanya berbagi keuntungan saja dengan nasabah, melainkan juga berbagi risiko dan kerugian. Sekalipun memang dana yang didapat dari shahibul mal (pemilik modal) itu sudah digabung di bank dan tidak dapat lagi dikatakan ini dana dari si A, B, C, dan seterusnya.

Karena itu, seandainya terjadi kerugian, itu sudah dapat ditutupi dari keuntungan dana yang lain. Meskipun demikian, akibat dari keengganan tersebut, maka dalam pembagian return, Bank Syariah biasanya tidak lagi berdasarkan bagi hasil dan rugi (profit and loss sharing), tetapi menggunakan sistem bagi pendapatan (reveneu sharing), sesuatu yang menyimpang dari konsep awal.

Keempat, Bank Syariah biasanya selalu berkutat dan sibuk pada keabsahan sebuah produk dari aspek hukumnya belaka. Di sisi lain berkaitan struktur, motif, dan batasan modal asing sering kali terabaikan. Kondisi seperti ini tentunya sangat mengkhawatirkan.

Tentu selain empat poin di atas, masih banyak masukan yang kita temukan yang diberikan oleh berbagai kalangan, baik itu berupa saran ataupun kritikan. Seperti dalam hal menajemen promosi/periklanan yang dilakukan oleh para praktisi Bank Syariah di Indonesia, sering kali memakai istilah/kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang itu sangat identik dengan Islam.

Seperti “berkah”, “amanah”, “mendapat ridha Allah”, “riba sama dengan bunga, memakan bunga dapat masuk neraka” dan lain-lain sebagainya. Konsekuensinya adalah seolah-olah perbankan syariah hanya diperuntukkan untuk orang Islam saja.

Dalam konsep awalnya tentunya bank syariah itu bukan hanya diproyeksikan kepada muslim saja, melainkan juga kepada non-muslim. Hal ini tentu dapat dilihat, bagaiman non-muslim menjadi nasabah di beberapa negara minoritas muslim, seperti Inggris, Denmark, Filipina, dan beberapa negara lainnya. Saran dan kritikan seperti ini tentunya harus ditindaklanjuti oleh Bank Syariah untuk kebaikan dan kemajuan Bank Syariah ke depannya.

Kajian Wahyudin Darmalaksana (2015) menunjukkan penegakan hukum perbankan syariah memiliki beberapa masalah yang cukup mendasar.

Pertama, substansi hukum perbankan syariah memiliki ketimpangan yang cukup lebar dengan benak (horizon) masyarakat.

Kedua, struktur hukum perbankan syariah ditunjukan oleh problem struktural yang relatif tumpang tindih sebagai konsekuensi dari pengaturan dual system secara ambigu.

Ketiga, kultur hukum perbankan syariah ditandai dengan fenomena penyimpangan terhadap kepatuhan syariah disebabkan kapasitas institusional perbankan syariah yang cenderung bisnis (profit oriented) sehingga memuluskan jalan terbentuknya perilaku konsumsi.

Keempat, penegakan sistem perbankan syariah telah memiliki kepastian hukum, namun maraknya perbankan syariah tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi-formalisasi nama kelembagaannya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material (substansial-filosofis).

Kontrak dan Moral Hazard

Bagi Kussudyarsana (2021) jika belajar dari kasus kontrak Jusuf Hamka dan lainnya ada beberapa catatan penting. Perlu dipahami dalam ekonomi, kontrak tertulis atau formal adalah bagian esensial dalam transaksi. Kontrak ini dibuat untuk menjamin pihak-pihak yang bertransaksi mendapatkan hak dan perlindungan yang sesuai dengan kesepakatan mereka bersama.

Secara faktual, sebaik apapun kontrak dibuat, akan tetap menyisakan ruang untuk opportunisme. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan manusia untuk dapat memperkirakan kejadian di masa datang secara baik dan terukur (bounded rationality).

Karena itu, para pakar hukum-ekonomi dan tata kelola menyarankan adanya penyesuaian kontrak untuk menjamin keberlangsungan ekonomi yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam kontrak yang disesuaikan, pihak-pihak yang terlibat me-review kembali kontrak mereka karena asumsi yang mendasari kesepakatan kontrak telah berubah.

Pihak perbankan selalu bertahan pada anuitas yang telah disepakati pada saat kontrak disepakati. Walaupun sebenarnya nasabah tidak terlalu memahami atau menguadsai dengan baik dengan cara perhitungan anuitas. Bunga anuitas adalah metode perhitungan bunga yang mengatur jumlah angsuran pokok, ditambah angsuran bunga yang dibayar agar sama setiap bulannya.

Kasus yang terjadi antara Yusuf Hamka dan Bank Syariah merepresentasikan ruang opportunism dalam suatu kontrak.  Pihak pertama selaku peminjam ingin melunasi utangnya. Di lain pihak, pihak bank selaku pemberi dana menganggap hal itu adalah suatu pelanggaran kontrak.

Adanya kemungkinan pelanggaran kontrak dapat menjadi celah bagi oknum Bank Syariah untuk bermain dan mendapatkan keuntungan tertentu. Walaupun dalam kasus ini boleh jadi bank syariah tersebut tidak bermaksud mendapatkan keuntungan tertentu, namun semata menjalankan kontrak yang telah disepakati bersama?

Tentu saja itu semua akan berpulang pada klausul persetujuan yang mereka susun. Namun demikian, kasus tersebut menyisakan pertanyaan bagi publik, bagaimana kedua belah pihak dapat berselisih sementara mereka telah bersepakat di awal perjanjian peminjaman?

Apakah tidak terdapat tranparansi dan kejujuran, sehingga pihak lain merasa dirugikan? Kasus perselisihan antara nasabah ternama dengan Bank Syariah telah memberikan pelajaran penting bagi Bank Syariah.

Bank ini dibangun dengan prinsip-prinsip etika keagamaan yang arahnya adalah memberikan kemaslahatan umat dan menjauhi kemungkaran. Adanya denda yang memberatkan pihak lain dapat dinilai nasabah sebagai bentuk kezaliman ketika tidak disampaikan secara baik dan benar.

Perlu ada transparansi dan kejujuran dari pihak Bank Syariah tentang bagaimana denda tersebut dikenakan beserta mekanisme secara jelas, sehingga opportunisme yang mungkin terjadi dapat diminimalkan. Besaran denda pun ada baiknya dipertimbangkan. Jangan sampai memberatkan pihak lain.

Di sisi lain, komunikasi publik yang tepat dapat menghindarkan suatu lembaga dari kemerosotan citra yang telah susah payah mereka bangun. Sebab publik mempunyai nalar yang sensitif terhadap ketidaksesuaian janji dan kenyataan.

Selain itu, perlu dianalisis apakah ada potensi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgement) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen.

Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak dalam perjanjian memiliki kedudukan lebih tinggi, sedangkan pihak yang lain mempunyai kedudukan yang lebih rendah.

Pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi itu mengambil keuntungan secara tidak pantas dari pihak lainnya yang lebih rendah. Penyalahgunaan keadaan secara ekonomis seringkali ditemui dalam perjanjanjian-perjanjian bisnis, tidak terkecuali dalam bisnis berbasis syariah yang menggunakan perjanjian syariah.

Penyalahgunaan keadaan menyebabkan ketidakseimbangan antara para pihak dalam perjanjian. Nah, dari sekelumit daftar masalah yang melingkupi praktik Bank Syariah itu, tentu tidak salah para pengambil kebijakan, pakar, ulama dan praktisi agar mengambil langkah untuk melakukan kaji ulang praktik Syariah-nya Bank Syariah?

==============

Sumber: Analisa, Senin-Selasa, 26-27 Juni 2023, hlm. 11



Tag: , , ,

Post Terkait

Komentar