POST DATE | 31 Oktober 2018
BERBEKAL pengalaman sebagai aktivis perlindungan konsumen, Si Raja Gugat dari Medan menembus berbagai rintangan hingga menjadi anggota Komisi Yudisial. Si Raja Gugat itu adalah Farid Wajdi Lubis yang kini mengabdikan dirinya sebagai pengawas perilaku hakim yang mulia.
Farid Wajdi berpandangan Lembaga Advokasi Pelindungan Konsumen (LAPK), wadah dia sebagai pengawas etika bisnis, memiliki kesamaan dengan KY yang sama-sama mengawasi perilaku. Persamaannya, LAPK mengawasi perilaku pengusaha dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk tujuan agar konsumen dilindungi, sementara KY mengawasi perilaku hakim agar para pencari keadilan tidak dirugikan. Kedua-duanya sama-sama mengawasi perilaku yang berwewenang.
Kalau pendekatannya hukum, puncak pada Perlindungan Konsumen itu adalah melalui ligitasi atau pengadilan. Ada kemudian persoalan pada hakim, yakni persepsi atau pemahaman para hakim tersebut terhadap perlindungan konsumen masih perlu advokasi yang lebih panjang dan intensif.
Ada misi suci, bahwa perlindungan konsumen tidak cukup hanya dengan advokasi, melainkan harus menceburkan diri pada lembaga yang sifat formal, yang merupakan bagian dari proses advokasi perlindungan konsumen.
Secara umum, LAPK dikenal dengan julukan Si Raja Gugat dari Medan dan diisi berlatar belakang sarjana hukum. Berdasarkan pengalaman itu, pada akhirnya ketika berjuang, harus ada pendekatan politik, pendekatan legislasi, untuk mendorong lahirnya para hakim yang profesional dan berpihak kepada kepentingan konsumen. Sehingga, bagi Farid Wajdi, menjadi anggota KY sama dengan melanjutkan perjuangan perlindungan konsumen.
Selama ini pada pendekatan alternatif penyelesaian sengketa, yang menjadi persoalan itu adalah kecilnya etika bisnis. Terlepas dari kecilnya hukuman yang dikenakan kepada pengusaha berdasarkan putusan hakim, ternyata mereka tetapi melakukan banding terhadap putusan tersebut. Padahal filosofinya, putusan dengan hukuman sekecil apa pun, seharusnya memunculkan rasa malu bagi para pengusaha.
BPSK yang melakukan pendekatan penyelesaian sengketa secara sederhana dengan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha, agar mereka malu dan mengutamakan perbaikan pelayanan kepala konsumen. Ketika pelaku usaha tidak memperbaiki pelayanan kepada konsumen sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan putusan, maka etika bisnis pelaku usaha ini dipertanyakan. Farid Wajdi mengkritik etika bisnis para pelaku usaha yang tidak memiliki budaya malu tersebut.
Di dunia bisnis ada istilah ratusan tahun membangun bisnis, runtuh hanya satu malam saja karena masalah pelayanan konsumen yang bermasalah.
Ada kesamaan, etika perilaku pejabat publik sebagai hakim dan etika bisnis. Ketika terjadi sesuatu yang dilakukan konsumen, pengusaha melakukan penanggulangan merespons konsumen dan secara cepat tanggap terhadap penyelesaian masalah konsumen tersebut. Dalam konteks perilaku hakim, tidak melulu kemudian bersembunyi di balik pemikiran bahwa hakim tidak pernah salah. Sebagai anggota KY, harus memunculkan rasa malu ketika hakim melakukan pelanggaran, karena yang malu bukan hanya saya, tapi keluarga, almamater saya. Harus malu jika melakukan pelanggaran.
Kegelisahan itu membuat menjalankan aktivitas, tentu sebagai pejabat lembaga negara, respons tanggap pada isu lembaga peradilan. Saat ini diperlukan kegelisahan, artinya bersedia membuka diri. Bukan hanya mendengar juga mencari persoalan yang selama ini kita awasi.
Apakah ada kegelisahan itu, setiap hari, begitu kita bangun sudah membaca media mengenai persoalan yang kita hadapi. Ini berkaitan dengan MA, dan terutama KY. Posisi saat ini, di atas gelisah sebenarnya. Ingin mengatakan kepada publik maupun pejabat peradilan, sekecil apa pun yang disampaikan masyarakat atau warga negara pencari keadilan harus direspons. Sebaik apa pun pelayanan kepada publik, kalau cepat merasa puas, itu kita gagal. Setiap pengaduan apakah terbukti atau tidak harus cepat direspons.
Terlepas dari persoalan di KY, bagi siapa dan profesi apa pun, integritas harus dirawat. Syarat profesional baik itu profesi jurnalis, dan advokad atau lembaga profesi apa pun, reputasi Lembaga atau Lembaga itu bisa dipercaya publik, kalau mereka diisi orang-orang yang berintegritas.
Apakah saya punya integritas?
Pertanyaan ini, mungkin bisa dijawab dengan pemikiran, apakah ulama atau pendeta sudah melakukan apa yang diucapkan? Tugasnya adalah mengajak orang lain, dalam hal ini mengajak advokasi. Setidaknya dengan selalu mengajak orang lain untuk melakukan advokasi, saya akan berupaya untuk tidak melakukan pelanggaran etik.
Dalam hal integritas, ada dua hal yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut pertanggungjawaban kepada Tuhannya, sehingga senantiasa tidak melakukan pelanggaran etis meskipun pada kesendirian.
“Faktor eksternal, saya tidak bisa mengatakan saya yang terbaik dari yang lain. Yang pasti saya melewati proses formal dan tahapan seleksi sebagai anggota KY,” kata Farid Wajdi.
Amanah sebagai anggota KY bagi Farid Wajdi merupakan yang terberat.
“Saya katakan ingatkan saya selalu. Termasuk memberikan keyakinan dan senantiasa nasihat. Senantiasa mengingatkan bahwa proses advokasi harus Istiqomah, amanah, dapat dipercaya, atau Konaah harus mampu menjadi diri sendiri. Yang paling penting bukan soal seberapa banyak yang saya dapatkan, tapi seberapa besar keberkahan yang saya terima. Termasuk juga kemampuan berbagi. Istiqomah, amanah, dan Konaah. Dalam konteks kesederhanaan, bukan berarti Konaah tidak bisa punya mobil atau naik pesawat. Konaah itu menerima apa adanya tidak berpuas diri. Tapi tidak mendapatkan sesuatu yang tidak etis.” kata Farid Wajdi.
Farid Wajdi, tidak pernah bermaksud membanggakan diri. Latar belakang kehidupannya dari keluarga sederhana. Dia dilahirkan amat sungguh sederhana dari keluarga ayah yang profesinya mubalig, ulama kecil di kampung halamannya.
Pada waktu kehidupan di kampung, karena ayahnya mubalig, kehidupan keluarganya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Mereka akan pindah dari kampung yang satu ke kampung yang lain tergantung pada siapa yang bisa memberi fasilitas rumah untuk ditempati dan pinjaman sawah untuk dikelola. Dan di kampung itu ayahnya mengajar di sekolah madrasah.
“Terlalu banyak kampung saya, SD saya tiga.” Kata Farid Wajdi.
Pola kehidupan sederhana dan berpindah-pindah memberikan pengayaan kehidupan bagi Farid Wajdi. Kehidupan dan perilaku setiap desa atau kampung berpengaruh pada kehidupan.
Sebagai anak seorang mubalig, kesehariannya menjadi perhatian warga sekitar. Oleh karena itu, sang ayah benar-benar mengawasi perilaku Farid sebagai anak. Farid Wajdi pun banyak beraktivitas di masjid dan pernah menjadi penjaga mesjid selama 1 tahun.
Lingkungan dan kehidupan sosial juga mempengaruhi Farid Wajdi. Ketika sekolah di SD, guru-guru menerapkan disiplin belajar kepadanya. Sekolah membangun budaya malu, sehingga setiap murid akan malu kepada orang tuanya jika ketahuan datang terlambat ke sekolah atau dihukum guru.
Organisasi juga mempengaruhi kehidupan Farid Wajdi. Organisasi yang dimasukinya Muhammadiyah yang mengajarkan disiplin. Disiplin terlihat ketika melaksanakan rapat organisasi yang dijadwalkan pukul 08.00 harus dimulai tepat waktu. Pada saat yang bersamaan disiplin itu berkaitan dengan integritas dan kepatuhan. Integritas itu tidak muncul tiba-tiba, melainkan berkaitan dengan keluarga, pendidikan, dan sosial.
Farid Wajdi mengaku kurang pergaulan pada saat kuliah, karena selesai sudah pulang untuk mengejar waktu sore hari sudah harus sampai di rumah. Ketika itu, kalau kemalaman sampai di rumah, pintu rumah sudah dikunci.
Ketika semasa mahasiswa, pergi camping juga harus seizin saudaranya, pemilik rumah tempat dia tinggal. Pertanyaan yang dilontarkan ke Farid Wajdi, apakah ada perempuan atau tidak saat camping? Kalau ada perempuan, maka dia tak boleh ikut.
Pertemanan setelah tamat kuliah juga menguntung dia membangun integritasnya. Teman-temannya yang baik, tidak membuatnya terlalu jauh tersesat. “Pergaulan saya misalnya, ada yang merokok, tapi mereka menghargai saya tidak merokok. Begitu juga kehidupan malam, sampai sekarang saya lugu. Juga soal minuman, sampai sekarang tidak tahu sama sekali,” ujar Farid.
Satu hal lagi yang mempengaruhi kehidupan Farid Wajdi adalah teman-temannya yang umumnya lebih tua darinya. Tidak melampaui batas usia, tapi Farid cepat didewasakan lingkungan pertemanan.
Jalur menata kariernya juga masuk wilayah pusaran kompetisi politik, bukan praktis atau parpol. Farid Wajdi berupaya menghindari hal-hal yang bisa menjadi celah pada lawan, khususnya yang berkaitan dengan integritas.
Orang Baik Harus Punya Nyali
Banyak dari daerah, ketika mau masuk ke pusat ke lapangan kompetisi tidak punya kepercayaan kuat yang disebut nyali. Padahal, mereka kalau mau akan mampu bertarung ke pusaran kompetisi.
Farid Wajdi tidak punya pengalaman melamar mencari pekerjaan ke sana ke mari. Dia hanya melamar dua kali, pertama melamar jadi dosen dan CPNS dan kedua melamar menjadi anggota KY. Dia mengingatkan agar jangan menjadi pencari kerja atau job seeker.
Farid menjelaskan ketika ingin melakukan sesuatu harus tahu apakah baju sesuai atau tidak sesuai. Kesabaran menjatuhkan pilihan itu juga penting karena itu terkait dengan integritas. “Jangan sampai karena ingin tampil menang lalu melamar ke mana-mana dan daftar ke sana ke mari,” tegas Farid.
Bagi Farid Wajdi, modal yang paling kuat adalah nyali. Apa yang dialaminya dalam seleksi menggambarkan bahwa bertapa penting nyali seseorang untuk meraih apa yang diinginkannya.
Berdasarkan pengalamannya sebagai anggota KY yang menyeleksi Hakim Agung, ada banyak orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas, tapi tidak punya nyali untuk ikut seleksi. Hal ini bukan persoalan mengukur diri, tapi ini sudah menjadi persoalan keberanian yang kuat atau nyali.
Banyak orang pintar yang sudah menyandang gelar doktor, hebat, dan memiliki integritas tinggi, tapi tidak punya nyali untuk ikut seleksi Mahkamah Agung. Mereka kerap mengatakan mereka tidak masalah ikut seleksi di KY, tapi mereka tidak mau mengikuti seleksi di DPR RI karena untuk menjadi hakim agung harus melalui seleksi di Komisi III DPR RI.
Integritas di kalangan para anak muda, itu nyali, kalah sebelum bertarung. Menurut Farid Wadji masih ada anggapan orang-orang boleh hebat di daerah, tapi merasa kecil ketika tampil di forum nasional. “Banyak sebenarnya mutiara yang punya sinar di daerah, hanya saja tidak punya cara mengaktualisasikan dirinya secara baik,” ungkap Farid Wajdi.
Menurut Farid Wajdi seseorang yang memiliki intelektual bagus dengan tingkat pendidikan yang tinggi serta memiliki integritas baik, tidak cukup jika tidak memiliki nyali. Sebab, tidak mungkin negara ini meminta kepada kelompok tertentu memimpin tanpa melalui proses yang selektif dan kompetitif. Ada satu hal yang membuat kenapa seseorang rendah diri. Umumnya karena mereka selalu memperhitungkan kekuatan orang lain, tapi tidak pernah fokus pada kekuatan diri sendiri. Hal ini penting diingatkan kembali bagi setiap orang yang punya integritas tinggi dan berpendidikan tinggi bahwa mereka dipanggil dan punya tanggung jawab untuk mengisi ruang publik.
Farid Wajdi melihat banyak orang hebat, orang besar, punya integritas yang bagus, tapi kemudian dengan berbagai dalih menyatakan tidak cocok dengan jabatan publik. Akhirnya, jabatan publik yang seharusnya diisi orang-orang seperti mereka diisi oleh orang uang integritasnya setengah kosong.
Pandangan jika orang-orang baik berkumpul, maka orang-orang jahat tersingkir. Itu ada benarnya. Oleh karena itu, orang-orang baik dan pintar harus merebut jabatan publik. Mestinya dalam seleksi hakim agung tidak banyak lagi tokoh LSM atau akademisi yang mengatakan saya tidak punya kesanggupan hidup dalam atmosfer jabatan publik. Ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan mampu tapi dia tidak mau karena keengganan bertarung.
Dia mencontohkan pada seleksi Hakim Agung. Bagaimana menemukan hakim yang Agung? Harus melalui seleksi yang agung juga.
“Mau Hakim Agung, harus mengikuti seleksi yang Agung, enggak mungkin ditunjuk” katanya.
Orang yang diperlukan harus teruji. “Saya akui terjadi dinamika yang tinggi saat seleksi di DPR. Ini memang konsekuensi karena profesinya, fasilitasnya, dan kewenangannya yang besar, maka pertarungannya juga harus besar. Perhelatan besar, maka pada seleksinya juga perlu pengorbanan besar,” ujar Farid Wajdi.
Ketika seleksi Hakim Agung, Farid Wajdi menyampaikan beritanya kepada rekan-rekannya di Sumut, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan LSM. Mereka yang boleh ikut seleksi di luar hakim karir harus menyandang gelar Doktor (S-3).
“Respons mereka adalah mereka bilang kalau lewat seleksi DPR RI mereka tidak mau” ungkap Farid.
Etika Pejabat Publik
Banyak pejabat yang korup di negeri ini karena mereka masih melihat hukum dari perspektif positivistik. Budaya atau kultur kita belum pada tahap pemikiran hukum yang substantif.
Farid Wajdi mencontohkan pengalamannya di negara maju di Eropa. Bagaimana orang tua mendidik anaknya di sana. Seorang ayah akan membiarkan anaknya yang masih kecil bermain bola di samping rumahnya. Sekali pun anak itu bermain bola tidak karu-karuan atau jungkir balik, ayahnya tidak akan melarangnya.
Tapi kalau anak itu bermain bola di perlintasan pejalan kaki atau di area yang ada rambu-rambu larangan, atau ruang publik, maka ayahnya akan menarik anaknya supaya jangan bermain bola di di area tersebut karena anak itu mengganggu keselamatan orang lain. Orang tua di sana memberikan pendidikan budaya menghormati orang lain dan hak-hak orang lain.
Contoh lain di Norwegia, pada suatu malam orang Indonesia naik taksi. Ketika tiba di perempatan dan nyala lampu lalu lintas merah, taksi yang ditumpangi orang Indonesia berhenti. Penumpang asal Indonesia yang melihat suasana malam hari dan sepi bertanya kepada sopir taksi kenapa tidak diterobos saja lampu merah? Sopir taksi menjawab “bukan karena ada atau tidak orang lain yang lalu lalang, tapi begitu saya langgar lampu merah ini, maka budaya yang kami bangun ratusan tahun akan runtuh.”
Di Indonesia pejabat lebih mementingkan hukum daripada etika. Akibatnya, tidak sedikit pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi dan terjerat pelanggaran pidana lainnya. Mereka yang tersangkut kasus hukum dan kasus etik pun tidak menyatakan mundur dari jabatannya. Mestinya, pejabat yang mengedepankan etika, memiliki rasa malu dan memiliki kultur mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Budaya hukum tidak cukup karena masih ada etika diatasnya.
Minimnya negarawan dibandingkan dengan politisi juga karena etik dan moral, tanggung jawab, dan rasa malu, belum menjadi budaya. Untuk menuju ke sana, perlu pembudayaan etika. Karena sebenarnya hukum bergerak di atas samudra etika. Landasan hukum adalah etika. Soal etika itu bukan soal baik dan benar, tapi patut atau tidak patut. Layak dan tidak layak. Baik atau buruk. Berbeda dengan hukum yang mengacu pada salah atau tidak.
Orang-orang yang berpandangan positivistik, selalu berpatokan pada aturan tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Bagi mereka sesuatu yang tidak diatur berarti bukan pelanggaran. Hukum positif di Indonesia masih sebatas memahamkan prosedural dan legal formal. Padahal, hukum itu dilandaskan pada etika, tanggung jawab, disiplin, tidak untuk kepentingan diri sendiri, dan harus sesuai apa yang diucapkan dengan apa yang diperbuat sehingga tidak terjadi pertengkaran antara hati dan mulut.
Dari segi etika, integritas pejabat publik masih dianggap defisit, karena kemampuan berpikir masih pada tahap melihat hukum sebagai sesuatu yang defisit, bukan melihat etika sebagai panduan berperilaku.
Pada suatu ketika KY, kunjungan negara, dan di antara rombongan KY bertanya apakah ada hakim yang dilaporkan di negara tersebut. Mereka meminta agar pertanyaannya diulangi untuk menegaskan kembali apakah ada hakim di negara tersebut dilaporkan masyarakat karena pelanggaran. Mereka heran atas pertanyaan tersebut dan mereka menjawab tidak ada hakim yang dilaporkan masyarakat di negeri ini karena pelanggaran.
Jika dikaitkan dengan etika, tidak adanya hakim yang dilaporkan di negara tersebut menunjukkan bahwa mereka menyadari apa hak dan kewajibannya. Di beberapa negara, mereka menjalankan persamaan hukum dan persamaan hukum setiap warga negara itu terlihat nyata.
Bagi setiap warga negara tidak ada pembedaan ketika berhadapan dengan hukum. Tidak ada perbedaan pelayanan publik bagi pejabat dan warga negara lainnya. Perlakuan yang sama ini memberikan semacam edukasi bahwa sesungguhnya pejabat itu atau pemimpin itu ketika berurusan dengan yang bukan menjadi tugas dan fungsinya, maka perlakuan oleh negara terhadap mereka harus sama. Perlakuan ini memberi efek kerendahan hati dan menjaga etika publik.
Pejabat publik di negara tersebut sangat khawatir jika terjadi perbedaan perlakuan akan dikoreksi warga negara lainnya. Pejabat publik di sana menyadari mereka digaji untuk melayani publik bukan untuk dilayani. Walaupun kondisi saat ini masih kurang mengedepankan etika, kita tidak boleh pesimistis. Kita harus tetap optimistis untuk mendorong agar pejabat publik mengedepankan etika, begitu juga para hakim yang mulia yang diawasi KY harus menjaga etik dan moral.
Mengawasi Wakil Tuhan
Farid Wajdi bersama rekan-rekannya di KY mengawasi hakim. Hakim dengan sebutan wakil Tuhan bukan berarti semuanya jauh dari masalah hukum dan etika. KY mencatat sepanjang 2015 terdapat 116 kasus menyangkut etika hakim yang direkomendasikan KY kepada Mahkamah Agung untuk diberikan sanksi ringan, sedang dan berat.
Untuk mengawasi hakim secara efektif, menurut Farid Wajdi, ada dua hal yang perlu dilakukan yaitu, pertama rekomendasi KY harus mengikat. Kedua, sikap terbuka, transparan, dan keinginan yang kuat dari Mahkamah Agung.
MA agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal demi mencegah pelanggaran etik dan hakim ditangkap KPK. Tujuan pengawasan bukan merusak, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah semakin terpuruk.
Banyaknya hakim ditangkap KPK harus menjadi pelajaran berharga bagi para hakim lainnya untuk lebih profesional dan menjaga integritas tanpa kecuali dalam menjalankan tugas. Terutama bagi para oknum hakim, agar berhenti merusak citra peradilan.
Hakim harus memilih berhenti melakukan pelanggaran atau mengundurkan diri sebagai hakim. Hakim adalah wakil tuhan, profesi yang mulia, dan orang-orang pilihan, sehingga harus mampu menunjukkan sikap keteladanan dalam semua aspek kehidupannya.
Menurut Farid Wajdi, dalam rangka pembaharuan di Mahkamah Agung, tidak kalah pentingnya penguatan internalisasi kode etik di kalangan para hakim dan para pejabat pengadilan di lingkungan MA dan peradilan yang ada di bawah. Sebaik apa pun yang dibangun, sebagus apa pun kemudian pola mutasi dan promosi, perbaikan manajemen yang dilakukan, kalau kemudian diisi oleh orang-orang yang memiliki mental yang buruk, itu tidak ada artinya.
“Diimplementasikan atau dieksekusi dengan baik meskipun tujuannya baik, tetapi kalau diisi dengan orang-orang bermental yang buruk, maka sesungguhnya niatan perbaikan menjadi sebuah keniscayaan saja” katanya.
Fasilitas seorang hakim atau gaji seorang hakim atau remunerasi bagi seorang hakim sudah di atas rata-rata pendapatan para pegawai negeri di Indonesia. Jadi kalau kemudian masih ada alasan bahwa melakukan korupsi karena pendapatan rendah, karena gaji tidak cukup, itu sudah tidak menjadi alasan lagi. Oleh karena itu perbaikan sistem yang dibarengi dengan interenisasi kode etik yang tidak hanya sebatas dipelajari dan diajarkan di meja belajar.
Tetapi lebih jauh dari itu yang paling penting bagaimana kemudian kode etik menjadi bagian kehidupan profesional. Etika harus dihayati dan harus benar-benar menjadi kebutuhan. Kalau ingin ada perbaikan yang lebih serius maka etika dijadikan menjadi gaya hidup setiap hakim dan pejabat pengadilan di luar hakim.
Belajar dari sejarah memang benar MA dalam buku printnya membutuhkan lembaga eksternal, yaitu KY. Tetapi dalam perspektif sejarah itu kemudian muncul anggapan bahwa KY ini seperti anak nakal, yang sering mengganggu orang tuanya. Malah ekstremnya anak durhaka yang melebihi tidak bertindak sebagai anak yang baik. Belajar dari sejarah IKAHI dan tentu atas restu para petinggi MA, telah dua kali mencoba memereteli kewenangan KY.
Yang pertama tahun 2006 ketika IKAHI melakukan judicial review terkait dengan kewenangan pengawasan KY. Dan kemudian 2015 terkait dengan kewengan KY bersama MA untuk melakukan seleksi bersama. Dalam kaitan ini saya pikir dari semua yang disebutkan tadi itu adalah kebesaran hati dan sikap kenegarawanan petinggi di MA. Untuk menerima KY dalam proporsi sewajarnya, tidak juga menyerahkan sepenuhnya pengawasan itu terimalah apa adanya.
Raja Gugat dari Medan
Bagi Farid Wajdi hidup bahagia itu kalau hidup berguna bagi banyak orang. Agar berguna bagi banyak orang, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LPAK) tahun 1999. Lembaga yang dikenal dengan julukan si raja gugat dari Medan ini sebagai penyambung lidah masyarakat dalam menyampaikan masalah pelayanan publik di Sumatera Utara.
Kehadiran LPAK ini merupakan refleksi dari semangat untuk membangun dan menggalang gerakan perlindungan konsumen bersama masyarakat. Khususnya dalam mengantisipasi laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi industrialisasi yang berjalan sangat masif. LAPK yang didirikan oleh para aktivis NGO, dosen, pengacara dan mahasiswa ini banyak menerima pengaduan mengenai masalah-masalah pelayanan publik dari masyarakat. Misalnya, masalah air PDAM Tirtanadi, PLN dan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan semua pelayanan publik masyarakat.
LAPK sendiri hadir memberikan advokasi dan perlindungan konsumen, melakukan pembelaan, menampung pengaduan konsumen, pengkajian dan menggalang kerja sama jaringan antar lembaga, khususnya yang punya komitmen terhadap perlindungan konsumen dalam arti luas.
Farid gigih membela konsumen yang terpinggirkan hak-hak publiknya adalah sebagai dakwah untuk melakukan amal makruf nahi munkar atau berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Meski berhadapan dengan banyak lembaga pemerintah dan pejabat, Farid mengaku tak menghadapi banyak masalah.
Ada pula anggapan pihak lain sebagai orang yang kurang kerjaan, cari popularitas dan lainnya. Anggapan itu tidak membuat Farid surut memperjuangkan hak-hak konsumen masyarakat Sumut.
Farid mengaku, pihaknya membuka mata publik terhadap kinerja instansi pemerintah yang belum maksimal sekaligus mengingatkan pemerintah mencari solusi terbaik untuk percepatan penyelesaian permasalahan yang terjadi bertahun-tahun.
Motivasi untuk memperjuangkan konsumen merupakan bentuk keterpanggilan sebagai akademisi sebagai respons terhadap banyaknya masyarakat dikorbankan pengusaha dan pemerintah.
Selain itu, ia ingin ada harmonisasi antara ilmu yang didapat dengan realitas atau kenyataan di lapangan. Sebagai aktivis konsumen, ingin mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah demi kepentingan orang banyak.
Di kalangan LSM, Farid Wajdi dipanggil ustaz karena tidak merokok dan tidak minum. Farid Wadji juga dianggap sebagai panutan, sehingga senantiasa harus melakukan yang terbaik, walaupun tak mengekang hal-hal yang bersifat personal dalam memperjuangkan hak-hak konsumen.
Motivasi Mengajar
Bagi Farid Wajdi orang tuanya yang berprofesi sebagai guru adalah panutan. Di kampungnya banyak orang datang ke rumahnya karena ayahnya tempat orang bertanya. Ketika di semester 1 teman saya semester 8, itu memberikan efek secara psikologis. Dia memahami ketika adik kelas tahu diri menghadapi kakak kelas.
Bagi dia profesi guru asyik dan profesi guru setengah malaikat. Itulah yang mendorong Warid Wajdi memilih berkarir sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Farid Wadji mengajar mata kuliah etika profesi hakim di kampus itu. Farid Wadji yang mengajarkan mata kuliah etika ini tentu menantang dirinya untuk tidak melanggar etik.
Faktor lingkungan pendidikan dan pergaulan mempengaruhi kehidupan Farid Wajdi. Farid Wadji berpandangan teman-temannya yang memberi nasihat dan doa kepadanya dianggapnya sebagai cara Tuhan mengingatkannya.
Di kalangan junior, Farid Wajdi menjadi kebanggaan mereka. Para junior kerap meminta nasihat dan meminta agar meyakinkan mereka untuk mencapai cita-citanya. Di satu sisi beban bagi Farid Wajdi, tapi di sisi lain, itu doa dan nasihat baginya untuk terus berupaya agar tetap memiliki komitmen untuk maju dan memiliki nyali untuk mewujudkan impian.
Mengelola Kampus
Farid termasuk orang yang berada digaris keras menerapkan tata tertib saat jam masuk dan jam keluar. Demikian pula dengan proses pembelajaran yang lebih banyak dilakukan secara otodidak.
Farid pernah ‘menyandera’ para mahasiswa supaya berani dan punya kemampuan untuk berkomunikasi di ruang terbuka dan tempat umum lainnya. Sehingga bagi sebagian orang, saya dianggap sebagai guru yang baik namun ada pula yang menilai sebagai guru yang killer.
Disiplin dan pelajaran otodidak merupakan kunci keberhasilan. Selain itu butuh kejujuran dan keberanian. Sesungguhnya kalau kita menggantungkan pada kemampuan seorang pengajar untuk melakukan transformasi nilai akan sangat terbatas. Karena keyakinan ini, Farid lebih cenderung memulai pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi, jaringan kerja sama dan buku yang ada. Ada suatu prinsip, kalau mau memiliki nilai lebih, harus belajar lebih keras sehingga tak sekadar yang diraih di bangku kuliah atau saat tatap muka yang hanya mencapai 50 persen.
Mendapatkan ilmu yang lebih banyak, harus dicari dengan kerja keras. Tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang didapatkannya apalagi saat ini dalam dunia persaingan kerja yang semakin tinggi. Bagi Farid, sepanjang mahasiswa mau belajar tak menjadi hambatan meraih apa yang diinginkannya.
Menjadi guru harus menyadari ikhlas dan tidak boleh dendam kepada murid atau mahasiswa. Sebab dosen berperan sebagai orang tua. Dosen harus memiliki kemampuan untuk memberikan keteladanan dan tidak membeda-bedakan mahasiswa.
Memang memotivasi mahasiswa merupakan bagian paling susah. Namun hal itu harus bisa diatasi meski banyak hal unik.
Farid tidak jarang harus melaksanakan pendekatan emosional dari hati ke hati dengan menjadikan mahasiswa sebagai adik dan sahabat. Model pembelajaran akan berhasil apabila ada pendekatan dari hati ke hati tersebut.
Bagi Farid pindah-pindah jabatan dari program pascasarjana ke program sarjana tidak masalah. Dalam mengurus kampus, Farid punya obsesi untuk advokasi pendidikan dan akan lebih mudah jika dimulai dengan menangani pendidikan S-1. Sehingga warna, corak, arah dan pola pendidikan diinjeksi melalui kurikulum S-1 apalagi untuk memutus mata rantai mafia peradilan.
Mafia peradilan akan dapat diputus, kalau tetap berpikir memberikan model-model pemikiran baru. Kita harus lakukan pencerahan kepada mereka yang baru S-1.
Mengelola S-1 dan S-2, tentu ada cara-cara tersendiri. Menghadapi mahasiswa S-2 lebih banyak menjadi sahabat, sedangkan di S-1 mendudukkan mereka sebagai anak dan lebih banyak memberi contoh keteladanan.
Memimpin FH UMSU dengan 1.700-an mahasiswa, itu memiliki tantangan tersendiri untuk meningkatkan kompetitif mahasiswa. Kalau ingin membentuk wajah FH UMSU yang lebih kompetitif dengan ahli hukum terkemuka di Indonesia dan manca negara.
Program utama mengawinkan kebutuhan lapangan kerja dengan kepentingan akademis kurikulum. Sehingga FH UMSU dapat menjadi kiblat bagi fakultas hukum lain di Sumut. UMSU punya terobosan untuk peningkatan kurikulum lokal yang lebih membumi.
Di samping itu Farid ketika itu memperkuat mata kuliah yang khas seperti hukum kewarisan Islam, hukum ekonomi Islam, hukum perbankan Islam dan asuransi dan berbagai budaya Islam sehingga memberi ciri khas sendiri.
Sejak pengangkatan sebagai dosen 1997, Farid menduduki jabatan akademis seperti menjadi sekretaris dan kepala laboratorium Fakultas Hukum, kepala bagian hukum perdata, humanisasi negara dan hukum tata negara, sekretaris program magister ilmu hukum dan dekan.
Masa Kecil Farid Wajdi Lubis
Farid Wajdi dilahirkan di Silaping pada 2 Agustus 1970 dengan menempuh pendidikan di SD Nomor 2 Ujung Gading. Ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah dan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Tamiang.
Secara historis kekeluargaan, keluarganya merupakan keluarga guru dan mubalig. Ayahnya yang merupakan guru madrasah yang juga menjadi mubalig kerap memberi ceramah dari satu masjid ke masjid lain. Sewaktu kecil tidak dapat memastikan apa cita-cita yang harus diraih. Yang penting, kehidupannya mengalir seperti air mengalir. Namun belakangan ingin menjadi guru. Darah guru mengalir kepada Farid sehingga tak heran sudah ada tiga dari lima orang bersaudara, menjadi pengajar.
Ternyata menjadi guru memberi kenikmatan yang luar biasa. Ada penghargaan lebih kepada para guru. Bagi Farid, dia menjadi orang kaya ketika ada orang yang menghargainya dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Kebahagiaan lain bagi Farid adalah banyak sahabat. Ketika berada pada suatu tempat tertentu, dapat bertemu dengan murid dan alumni. Dia tak pernah kesepian karena memiliki banyak teman. Bagi Farid teman adalah aset dan investasi yang luar biasa.
Keluarga Bersahaja
Untuk mereka harus ada ada waktu jalan-jalan bersama ke Berastagi atau pinggir pantai untuk piknik dan wisata minimal sekali semester. Namun paling sering, bermain di sarana permainan pusat perbelanjaan. Belakangan ini, hak keluarga agak berkurang seiring dengan kesibukan saya menangani FH UMSU.
Mereka sejak kecil dibiasakan, mengunjungi keluarga terutama yang sakit atau meninggal sebagai proses pendidikan yang alamiah. Ini lebih aplikatif, dibandingkan dengan pendekatan ceramah.
Mengenai cita-cita putra-putrinya, ada yang berniat menjadi notaris dan profesi lain yang berkaitan dengan bidang hukum. Karena anak paling besar masih kelas IV SD, belum sampai pada tahapan mereka harus menjadi apa. Bagi Farid mereka harus bisa memberi manfaat bagi orang lain. Saya akan memberi kebebasan kepada mereka untuk berkarir.
Sesuai dengan prinsip hidup, saya berharap mereka dapat menjadi manusia yang terbaik bagi orang lain dan ketidakadilan membikin perlawanan. Di satu sisi memberi manfaat yang besar bagi orang lain.
Dekat dengan Anak
FARID Wajdi adalah tipe ayah yang tidak bisa jauh dari anak-anaknya. Ketika terpilih menjadi Komisioner KY pada Desember tahun lalu, dia langsung memboyong keluarganya ke Jakarta. Dengan cara itu, dia bisa selalu berada di dekat buah hatinya.
Selain memboyong keluarga ke Jakarta, juru bicara (jubir) KY tersebut menyekolahkan anak-anaknya di dekat kantornya di Jalan Kramat Raya. Empat anaknya, yakni Muhammad Zein Azhari Wajdi Lubis, Khairunnisa Rezeki Ramadhani Wajdi Lubis, Faturrahman Al-Rasyid Wajdi Lubis, Ahmad Fatahillah Al-Ghazali Wajdi Lubis, bersekolah di perguruan Muhammadiyah.
Ada yang di SD Muhammadiyah 2 Jakarta, SMP Muhammadiyah 3 Jakarta, SMA Muhammadiyah 1 Jakarta. Tiga sekolah itu berada di satu kompleks. Jarak sekolah tersebut dengan kantor KY hanya beberapa langkah. Selain kualitas pendidikan yang bagus, dia ingin dengan mudah memantau pendidikan anaknya. ''Kalau ada keperluan, saya tinggal jalan kaki saja ke sekolah,'' terangnya.
Menyekolahkan anak-anaknya di satu kompleks, membuat dia bisa dengan mudah mengantarkan mereka ke sekolah. Suami Diana Susanti itu juga bisa mudah bicara dengan para guru jika ingin mengetahui perkembangan pendidikan anaknya.
Penulis: Kennorton Hutasoit
==================
Sumber: Denny S Batubara, dkk, Sumut Bangga, 21 Tokoh Yang Menginspirasi, Yogyakarta: Deepublish-satukedai.com, 2018, halaman 76-94