post.png
BAHAN_WEB_FW.jpg

Hukum Kebisingan dalam Permukiman

POST DATE | 14 Juli 2022

Lingkungan pemukiman/perumahan adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).

Sumirat dalam Iswar (2005) menyatakan permukiman sebagai sarana kebutuhan untuk hidup yang difungsikan sebagai memasyarakat diri, mebina keluarga, menggali potensi tempat berlindung. Setiap individu akan menghabiskan sebagian besar waktu di rumah oleh karena itu suasana dan lingkungan rumah merupakan tempat yang menyenangkan, aman dan nyaman.

Secara normatif Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 memberi peluang suatu rumah diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai kegiatan usaha selama tidak membahayakan dan mengganggu fungsi hunian. Kegiatan yang tidak mengganggu fungsi hunian adalah kegiatan yang tidak menimbulkan penurunan kenyamanan hunian dari penciuman, suara, suhu/asap, sampah yang ditimbulkan dan sosial.

Pasal 49 ayat (2) menegaskan, pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi hunian harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian. Karena itu, jika merujuk kepada norma hukum yang ada dapat dipahami selama tidak mengganggu kenyamanan lingkungan hunian, suatu rumah dapat digunakan sebagai tempat usaha. Tentu dalam prosesnya rumah yang dijadikan sebagai tempat usaha tersebut harus tetap memperhatikan izin pemanfaatan ruang.

Untuk memangkas birokrasi investasi, pemerintah telah menghapuskan izin gangguan atau Hinder Ordinary (HO) melalui Permendagri Nomor 19 Tahun 2017. Secara sosiologis adanya izin gangguan, masyarakat berhak mendapatkan akses partisipasi yang meliputi pengajuan pengaduan atas keberatan atau pelanggaran perizinan dan/atau kerugian akibat kegiatan dan/atau usaha.

Pasca-penghapusan izin HO pelaku usaha melakukan pendaftaran melalui OSS (Online Single Submission) dan selanjutnya terbit NIB (Nomor Induk Berusaha) (PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik).

Sistem OSS adalah sistem perizinan berusaha yang dibangun, dikembangkan dan dioperasikan oleh Pemerintah Pusat. Sistem OSS ini terintegrasi dan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan perizinan berusaha. Selain itu, pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terdapat beberapa regulasi perizinan yang diubah.

Ekses Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki. Kebisingan yang diakibatkan oleh pergerakan lalu lintas jalan dikenal oleh banyak badan internasional dalam kurun waktu yang cukup lama sebagai gangguan terhadap pendengaran. Kebisingan lalu lintas juga dapat mengakibatkan gangguan pada daerah daerah dan bangunan yang retan seperti tempat tinggal, rumah sakit dan sekolah.

Studi Wallenius (2004) mengatakan akibat buruk kebisingan permukiman (residential noise) -termasuk kebisingan dari tetangga dan lalu lintas- mengganggu aktivitas sehari-hari yang bersifat restoratif atau membutuhkan konsentrasi seperti tidur, bersantai, membaca, belajar, dan menonton televisi, dapat mengakibatkan stres tingkat tinggi, yang dikaitkan dengan berbagai gejala somatik dan kesehatan yang lebih buruk secara umum.

Studi lainnya, berdasarkan survei WHO pada 2002-2003 di Eropa, menunjukkan ada hubungan antara kekesalan dan stres jangka panjang akibat kebisingan penyakit kardio-pernapasan (bronkitis), arthritis, depresi, dan migraine pada orang dewasa dan anak-anak. Studi lainnya di Belanda yang dilakukan dari tahun 2008 sampai 2013 menyimpulkan bahwa kebisingan dari tetangga berdampak lebih buruk pada kesehatan daripada kebisingan lingkungan dari jalan.

Regulasi yang ada sudah mengatur tentang kebisingan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1996, KEP-48/MENLH/11/1996. Namun begitu dari pengalaman, ketika seseorang menyampaikan keluhannya berkaitan ekses kebisingan ini lewat jalur formal-kepada instansi pemerintah, ia dapat menghadapi birokrasi yang rumit dan keluhannya tidak selalu ditanggapi dengan respons yang baik (https://beritasebelas.com/2022/03/22/ketika-perkara-kebisingan-berujung-pidana/).

Tanggung Jawab Hukum

Meskipun secara normatif izin gangguan (HO) ditiadakan bukan berarti hak publik atas keamanan dan kenyamanan dalam lingkup hunian pemukiman hilang. Hukum tetap tegak lurus dalam melindungi hak warga negara. Hukum mengakomodasi norma mengganggu ketenangan orang lain. Bahkan dalam draf final Pasal 265 jo Pasal 79 Rancangan KUHP: “membuat hingar-bingar atau berisik tetangga pada malam dan…sehingga mengganggu ketenangan tetangga didenda Rp10 juta.”

Apalagi sudah sepatutnya sesama manusia, lebih menghargai atau menghormati satu sama lain. Tidak bertindak di luar batas, karena bisa mengganggu privasi seseorang, apalagi bertindak semaunya demi kepentingan pribadi.

Ketentuan norma mengganggu ketenangan orang lain yang ada dapat berfungsi menjadi tameng bagi masyarakat, agar mendapat perlindungan hukum terhadap pihak-pihak tidak bertanggungjawab atau niradab. Misalnya saja jika ada usaha atau bisnis kafe terdekat dari rumah sering berisik dan mengganggu aktivitas sehari-hari?

Kondisi demikian tentunya dapat berdampak negatif pada kesehatan, seperti menimbulkan gangguan tidur, sakit kepala, suasana hati memburuk, dan lain-lain. Belum lagi jika sudah berkeluarga, anak bisa mudah rewel akibat kafe terdekat dari rumah yang berisik. Tentu mungkin membiarkannya begitu saja dan terus mengganggu kehidupanmu setiap harinya?

Terdapat norma hukum mengganggu ketenangan orang lain, karena tidak ada seorangpun berhak untuk mengganggu ketenangan seseorang demi kesenangan atau kepentingan pribadi. Jika ada pernah mengalami kasus serupa, maka sebagai warga negara berhak membuat laporan kepada pihak berwajib/instansi pemerintah.

Seringkali terjadi gangguan dari berbagai hal, salah satunya adalah ketika tetangga di lingkungan sekitar rumah membuat gaduh dan mengganggu masyarakat sekitarnya. Tentunya hal ini cukup menyebalkan, terlebih lagi sebagai warga sudah menghubungi pihak Ketua RT/RW/Kepala Lingkungan setempat.

Atau bahkan ada yang sudah lapor kelurahan atau pihak berwenang lain, tetapi tidak mempan. Masalahnya meskipun sudah diperingatkan, nyatanya tidak ada perubahan dari tetangga tersebut. Jika demikian, bagaimana hukum mengakodoasi hak warga negara?

Untuk itu, jika proses komunikasi solusi non-litigasi mengatasi kebisingan telah tersumbat, hukum telah menyediakan banyak perangkat seperti upaya hukum administrasi, hukum pidana dan perdata.

Upaya Hukum Administrasi. Terkait adanya kebisingan suara keras yang menganggu, langkah awal ada meminta informasi, apakah usaha kafe, dan lain sebagainya tersebut memiliki NIB atau tidak. Jika tidak ada tentu dapat melaporkannya ke Satpol PP, karena Satpol PP bertugas untuk menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan perlindungan hukum kepada masyarakat.

Jika usaha kafe, dan lain sebagainya telah memiliki NIB terkait dengan ketertiban umum, namun warga keberatan dengan izin gangguan tersebut. Warga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Upaya Hukum Pidana. Pasal 503 angka 1 KUHP menegaskan: “Dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp 225, barangsiapa membuat riuh atau ingar, sehingga pada malam hari waktunya orang tidur dapat terganggu.” R. Soesilo (1991) menjelaskan agar dapat dihukum perbuatan harus dilakukan pada malam hari -waktunya orang tidur (jam berapa, tergantung pada kebiasaan di tempat itu, pada umumnya sesudah jam 23.00 malam).

Riuh atau ingar dimaksud adalah suara riuh yang tidak enak didengar dan mengganggu, seolah-olah diperbuat secara main-main atau kenakalan. Bagi SR. Sianturi (19830 tindakan yang dilarang dapat berupa teriakan-teriakan, nyanyian-nyanyian melengking, memukul-mukul kaleng, membuat anjing-anjing marah, sehingga menggonggong dan sebagainya. Akibatnya ialah dapat mengganggu ketentraman malam.

Upaya Hukum Perdata. Pasal 1365 KUHPerdata: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Mengukur perbuatan melawan hukum bukan berarti harus ada yang terkena sakit terlebih dahulu, sebab konsep kerugian tersebut sangat luas. Kerugian dapat berupa apa saja. Semisal atas gangguan suara tersebut tidak dapat tidur, dan menyebabkan produktifitas berkurang. Poin penting perbuatan itu adalah suara keras tersebut haruslah “melawan hukum” dan menggangu ketenangan.

============

Sumber: Analisa, Selasa, 11 Oktober 2022, hlm. 12



Tag: , , , , ,

Post Terkait

Komentar